Walang Goreng dan Kenangan Masa Kecil yang Penuh Syukur
Oleh Zainul Muslimin Bendahara PWM Jatim
PWMU.CO – Di tengah perjalanan hidup yang terus melaju, kadang kita perlu berhenti sejenak, kembali ke masa lalu untuk mengenang apa yang pernah kita miliki.
Hari itu, saya sengaja turun dari bus, memilih mengenang masa kecil dengan sesuatu yang sederhana: walang goreng. Sebuah kuliner yang dulu biasa saja, kini menjadi barang langka yang mahal.
Dulu, hidup begitu sederhana, tetapi kaya akan keberkahan. Protein hewani bukanlah sesuatu yang harus dibeli mahal di supermarket. Alam menyediakan segalanya tanpa pamrih.
Walang, gangsir, jangkrik, laron, hingga ulat turi menjadi menu penuh gizi yang menemani hari-hari kecil saya.
Di sungai, ada uceng, wader, dan udang kali yang segar. Semua itu adalah “hadiah” dari Allah, mengajarkan betapa murah hati Sang Pencipta kepada hamba-Nya.
Tak pernah terlintas waktu itu tentang alergi makanan atau program makan siang bergizi gratis. Semua kebutuhan tubuh terpenuhi secara alami.
Gizi yang cukup membawa saya melangkah jauh, bukan hanya di bidang akademik, tapi juga dalam perlombaan cerdas cermat.
Bahkan, nikmat yang terus mengalir itu membawa saya ke puncak kebahagiaan: diterima di IPB tanpa tes, melalui jalur prestasi.
Namun, zaman telah berubah. Walang goreng yang dulu gratis kini dijual Rp30.000 hingga Rp50.000 per toples kecil. Kehidupan kini mengajarkan kita untuk terus beradaptasi.
Seperti kata orang, yang tidak berubah akan tergilas zaman, seperti Nokia dan Kodak. Kini, telur, ati ampela, dan ikan patin menjadi alternatif yang lebih terjangkau.
Namun, di balik semua itu, saya teringat bagaimana perjuangan orang tua saya. Ayah, seorang pegawai negeri, pulang kerja langsung turun ke sawah tanpa istirahat. Ibu, dengan telaten, mengelola toko pracangan kecil di rumah.
Dengan kerja keras mereka, saya belajar tentang arti keteguhan, cinta, dan keikhlasan yang tak pernah menuntut balas.
Hari ini, mengenang masa-masa itu membuat saya tak kuasa menahan air mata. Bukan air mata kesedihan, melainkan keharuan dan rasa syukur yang mendalam.
Hidup sederhana yang penuh cinta dan perjuangan telah membentuk saya menjadi siapa saya hari ini.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan melimpahkan rahmat-Nya kepada kedua orang tua kita. Allahumaghfirlii waliwalidayya warhamhumaa kama rabbayaani shoghiiroo.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Editor Syahroni Nur Wachid