Oleh Alfi Saifullah – penulis kolom, buku biografi & sejarah
PWMU.CO – Suatu ketika ada rasa heran menggelayuti pikiran yang kemudian menjelma menjadi sebuah pertanyaan, “mungkinkah ulama sekaliber Kyai Ahmad Dahlan yang cukup lama menimba ilmu tentang ajaran Islam ke pusatnya langsung (Makkah) hanya mengajarkan QS Al-Maun — yang tergolong surat pendek/Makkiyah) — kepada santri-santrinya? Bukankah ada 313 surat dalam Al-Quran yang substansinya, menurut saya, jauh lebih kompleks?
Seiring berjalannya waktu, saya mencoba lebih serius untuk menelaah berbagai sumber (referensi) yang ada. Hingga bermuara pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya Kyai Dahlan melakukan hal tersebut sudah memenuhi standar kebenaran nalar dan logika ilmiah. Setidaknya saya mencatat ada beberapa refleksi dari pola pengajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan terhadap santri-santrinya dan relevan untuk menjadi bahan renungan.
Aktualisasi berbuah ilmu
Merujuk pada diskursus tasawuf, terdapat dua pola pendekatan (taqarrub) kepada Allah. Yaitu tanazul (dari Allah kepada hamba) dan taraqi (dari hamba kepada Allah). Sedang dalam prosesi amaliyah (aktualisasi) ada metode yang lain saling berkaitan, yaitu: ilmu qobla amal (berilmu sebelum beramal) dan amal qobla ilm’ (beramal untuk menghasilkan ilmu).
Sementara dalam Teologi Al-Maun, Kyai Haji Ahmad Dahlan lebih mengutamakan aktualisasi dengan pemahaman, daripada sekadar mempelajari sekian banyak teori tanpa aktualisasi. Dalam konteks ini, bukan soal menang kalah atau yang satu lebih unggul dari yang lain. Namun ini terkait pilihan, ijtihadi seorang ulama terkait metode. Melalui proses aktualisasi terhadap satu pemahaman, akan menarik simpul pemahaman lain yang semula belum terpahami.
Allah SWT berfirman :
وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Bertakwalah kepada Allah, Dia akan memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 282).
Secara tersurat ayat itu menjelaskan bahwa Allah akan memberikan reward berupa pemahaman yang belum ada sebelumnya. Dus, ayat itu senada dengan sabda Rasulullah yang berbunyi, “man amila bima alima warotsahullohu ilma ma lam ya’lam” (Barang siapa mengamalkan ilmu yang dia dapat, maka Allah memberi tambahan kepada orang itu sesuatu yang belum ia ketahui).
Teologi Al-Maun mengangkat hal-hal yang cukup kompleks. Dalam QS Al-Maun itu, terdapat hal-hal yang berkaitan dengan ketauhidan, moralitas, etika, shalat, zakat dan sedekah. Melalui kajian yang mendalam dan cermat, maka akan mengarahkan pada kesimpulan bahwa bahwa ajaran Islam itu kaya perspektif. Islam sebagai ajaran, menjadi sebuah konstruksi bangunan yang utuh dan komprehensif, satu sama lain saling terikat dan mengikat.
Repetisi menghasilkan khazanah ilmu yang beragam
Kala mengajarkan dengan mengulang-ulang bacaan QS Al-Maun itu, Kyai Dahlan sedang menerapkan metode dengan berupaya meniru saat Allah memberikan hikmah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Yaitu saat Malaikat Jibril mengajarkan QS Al-Alaq kepada Rasulullah, dengan kata pertama ‘iqra’ yang berarti bacalah. Kata ‘iqra’ terulang sebanyak dua kali, yaitu pada ayat pertama dan ketiga.
Pakar tafsir Indonesia Prof Dr Quraish Shihab M.A dalam Tafsir Al-Mishbah (2005: 398) menjelaskan faktor pengulangan kata tersebut. “Ayat ketiga mengulangi perintah membaca. Ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW, sedang yang kedua kepada umatnya. Atau yang pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua di luar shalat. Pendapat lain mengatakan bahwa yang pertama perintah belajar, dan kedua perintah mengajar orang lain.
Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah kedua berfungsi menguatkan rasa percaya diri Nabi Muhammad, tentang kemampuan beliau membaca — karena tadinya beliau tidak pernah membaca. Syeikh Muhammad Abduh mengemukakan sebab lain. Menurutnya untuk memperoleh kemampuan membaca dengan lancar dan baik itu harus dengan mengulang-ulang atau melatih diri secara teratur. Hanya saja keharusan latihan demikian itu tidak berlaku atas diri Nabi Muhammad dengan adanya pengulangan perintah membaca itu.
Substansinya, dengan semakin banyak repetisi, tentu akan menghasilkan pemahaman yang berbeda. Obyek boleh konsisten, namun ketika terjadi repetisi pengkajian, pemahaman yang dihasilkan bisa menjadi variatif.
Dapat kita lihat dari sepanjang sejarah pemikiran Islam. Meski para ulama menginterpretasi objek yang sama (Al-Quran dan Hadis), tapi mereka melahirkan beragam mazhab. Entah terkait diskursus teologi, filsafat, hadis, tafsir, fiqh, maupun tasawuf. Inilah ketika khazanah ilmu Allah semakin luas dibentangkan. Benarlah adanya teks hadis yang berbunyi:
اخْتِلَافُ أمَّتي رَحْمَةٌ
“Perbedaan dikalangan umatku adalah Rahmat”.
Gagasan minimal dengan hasil yang maksimal
Kalangan ulama bersepakat bahwa Nabi Muhammad merupakan satu-satunya manusia yang terhindar dari salah dan dosa (ma’shum). Meminjam istilah Syaikh Abdul Karim Al-Jili, “Nabi Muhammad adalah Insan Kamil (manusia sempurna) dalam arti yang sebenarnya”. Dalam konteks fiqh, setiap perilaku beliau dapat menjadi sumber Hukum Islam. Tak satupun manusia yang mampu mencontoh secara sempurna dari Nabi, termasuk juga para sahabat beliau. Ada satu sahabat yang menonjol dalam satu bidang, namun lemah dalam bidang lain. Demikian juga halnya pada para ulama sebagai pewaris nabi.
Dalam konteks ini, Kyai Dahlan memberikan manhaj yang disebut “Teologi Al-Maun” kepada pengikutnya. Meski tampak sederhana, manhaj ini mencangkup semuanya (qolla wa dalla). Dari gagasan yang sederhana itu, faktanya mampu memberikan dampak yang luar biasa. Persyarikatan Muhammadiyah kini sukses melahirkan ribuan cendekiawan dan ulama yang berjasa besar terhadap negeri ini.
Alhamdulillah, Teologi Al-Maun warisan Kyai Haji Ahmad Dahlan telah membuka jalan alternatif. Teologi Al-Maun ala Kyai Dahlan telah tampil sebagai thoriqoh (metode) yang efektif. Metode primer ini semoga selalu relevan untuk diaktualisasikan sesuai dengan konteks zaman/waktu. Wallahu a’lam bish Shawab.
Editor Notonegoro