PWMU.CO – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan orasi berjudul Transformasi Mentalitas dan Kebudayaan Indonesia dalam acara penyerahan Anugerah Hamengkubuwono IX di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam orasi ini, Haedar mengungkapkan keprihatinannya terhadap peluruhan moral dan etika yang tengah melanda Indonesia, yang berakar pada persoalan mentalitas dan kebudayaan.
Haedar mengangkat isu tersebut berdasarkan sejumlah kasus yang mencerminkan krisis moral dan etika bangsa saat ini. Dalam naskah orasi sepanjang 15 halaman, ia menyoroti pelanggaran etik oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, dan mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari.
Ia juga menyinggung tindakan tidak pantas oleh Miftah Maulana atau Gus Miftah terhadap seorang penjual es teh, yang menurutnya melambangkan degradasi moral di masyarakat.
“Kasus-kasus besar, seperti pemberhentian Ketua MK, KPK, dan KPU, mencerminkan erosi moral dan etika para pejabat publik. Selain itu, baru-baru ini terdapat kasus pengunduran diri pejabat pemerintahan yang juga tokoh agama karena pelanggaran etika dalam interaksi sosial,” ungkap Haedar pada Kamis (19/12/2024).
Haedar menilai masalah ini terkait dengan kelemahan karakter bangsa Indonesia yang pernah diungkapkan oleh antropolog Koentjaraningrat. Beberapa kelemahan mentalitas tersebut meliputi sikap meremehkan mutu, kecenderungan menerabas, kurang percaya diri, ketidakdisiplinan, dan kurang bertanggung jawab.
Hal serupa juga disampaikan oleh budayawan Mochtar Lubis, yang menggambarkan ciri manusia Indonesia sebagai hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, serta berjiwa artistik yang cenderung erotik.
“Tanpa bermaksud menggeneralisasi, peringatan dari kedua tokoh ini perlu menjadi bahan introspeksi bagi seluruh elemen bangsa, baik elite maupun masyarakat umum,” tambah Haedar.
Ia menegaskan bahwa masalah etika dan moral ini sebenarnya adalah persoalan kebudayaan, yang berhubungan dengan sistem pengetahuan kolektif dalam kehidupan bermasyarakat. Haedar melihat gaya hidup masyarakat Indonesia kini semakin menunjukkan anomali.
Ketika korupsi, materialisme, dan oportunisme merajalela, menurut Haedar, masyarakat mengalami ketercerabutan nilai. Ia mengutip William Ogburn yang menyebut fenomena ini sebagai cultural lag, yaitu kondisi di mana budaya material semakin mendominasi dan melemahkan aspek-aspek spiritual, sehingga mentalitas masyarakat menjadi rapuh. (*)
Penulis Wildan Nanda Rahmatullah Editor Azrohal Hasan