Komplek bangunan Perguruan Muhammadiyah Banyutengah saat ini. (Anshori/PWMU).
PWMU.CO – Berbeda dengan istilah “Tiga Pendekar Chicago” yang merujuk pada tiga cendekiawan muslim Indonesia lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat atau “Tiga Serangkai” yang merujuk tiga tokoh pergerakan Indische Partij kisaran tahun 1912-an.
“Tiga Pendekar Muhammadiyah Banyutengah” merujuk pada tiga sosok “kiai” yang berjasa dalam perkembangan Muhammadiyah ranting Banyutengah Panceng Gresik. Tiga kiai itu adalah Dhimam, Muskanan dan Misbahuddin.
Mengenal Kiai Dhimam
Kiai Dhimam lahir 12 April 1951 lalu. Secara usia paling tua di antara ketiganya. Ia bukan warga Banyutengah asli, namun pendatang yang menikahi gadis, anak tokoh desa setempat. Ia berasal dari desa Banyu Urip Ujungpangkah, 8 km dari Banyutengah.
Di antara mereka bertiga, hanya kiai Dhimam sebagai pengawai negeri sipil alias ASN. Ia seorang guru sekolah dasar negeri yang bertugas di desa tetangga. Pengalamannya sebagai ASN serta kepribadian yang luwes menjadikannya gampang bergaul dengan berbagai kalangan, dari aparat pemerintah hingga masyarakat luas.
Dengan pengalaman serta kepribadian itu, kiai Dhimam mengantarkan lima anaknya mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi ASN di bidangnya masing-masing.
Tiga menjadi dosen di perguruan tinggi negeri dan satu lagi menjadi petugas kesehatan di puskesmas kecamatan setempat.
Karena sosoknya itu, kiai Dhimam menjadi panutan sekaligus rujukan bagi masyarakat sekitar. Banyak warga masyarakat yang bertanya, bagaimana cara masuk dan menjadi ASN? atau sekedar menjadi tempat bertanya bagi orang tua yang ingin memilih jurusan pendidikan bagi anaknya.
Saking dekatnya dengan warga masyarakat serta kepeduliannya pada kaderisasi dan regenerasi persyarikatan. Ia berperan sebagai “mak jomblang” alias tukang menjodohkan kader yang sudah waktunya menikah tapi sulit menemukan pasangan.
Dengan bahasa yang luwes dan mudah diterima, ia mendekati orang tua (wali) dari kedua calon. Singkat cerita jadilah perjodohan itu, berlanjut ke pernikahan, dan sah hidup berumah tangga hingga sekarang. Ada yang sudah dikaruniai keturunan, ada pula yang belum. Dan itu tidak hanya satu atau dua, tapi banyak kader yang bertemu pasangan hidupnya berkat peran kiai Dhimam.
Tidak hanya itu, ketika mengetahui ada kader potensial maka tidak segan kiai Dhimam merekrut dan mengajaknya turut berjuang di amal usaha persyarikatan, baik di lembaga pendidikan atau kemasjidan. Sudah banyak kader persyarikatan atas rekomendasinya direkrut menjadi tenaga pengajar di jenjang PAUD, TK, MI, MTs, maupun MA.
Suatu ketika kiai Dhimam mengetahui kader yang mempunyai potensi (kelebihan) berceramah. Tidak segan ia mendekati (membujuk) orang tua si kader, sekaligus kader itu sendiri guna memberikan semangat serta nasehat (menguatkan mental) agar mau tampil mengisi ceramah di bulan ramadhan atau khutbah Jumat.
Karena ia merasa tidak selamanya para orang tua (kiai) ini akan terus ada, pasti akan datang waktu dimana mereka sibuk, sakit, tua bahkan dipanggil sang khalik. Baginya, perlu menyiapkan kader sebelum waktu itu datang. Apalagi melihat tantangan di tengah masyarakat semakin komplek.
Kiai Dhimam juga seorang penceramah. Bahasanya yang halus dan lembut, tidak lupa selalu diselingi guyonan yang menggelitik. Hingga di setiap kesempatan ceramahnya pasti terdengar gelak tawa para jamaah. Mereka senang karena kelucuan isi ceramah yang disampaikan. Karena itu kehadirannya mesti ditunggu para pendengarnya.
Selain menjadi khatib Jumat tetap di masjid desa setempat. Masjid desa tetangga sekitar pun minta waktu serupa. Tidak hanya itu, saat idul fitri atau idul adha pun sering mendapatkan panggilan baik dari wilayah sekitar maupun seberang. Bahkan jauh hari waktunya sudah diagendakan. Apalagi di bulan ramadhan, pasti jadwalnya penuh sebulan mengisi kultum tarawih dan subuh. Belum lagi undangan ceramah pernikahan atau hajatan lain.
Di tingkat cabang, kiai Dhimam pernah menjadi ketua PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah). Dengan pengalaman serta kepiawaian dalam memimpin dan berorganisasi, ia tidak hanya satu periode mengemban amanat, bahkan sampai dua periode. Selama menjabat banyak jejak yang ditorehkan bersama jajaran pimpinan lainnya.
Di antaranya pertemuan (pengajian) rutin pimpinan maupun anggota, pengembangan ranting, menghadirkan penceramah dari pusat setiap agenda milad, hingga membebaskan lahan untuk gedung dakwah PCM setempat dan program lainnya. Sehingga pihak pemerintah maupun organisasi masyarakat lain, termasuk anggota ranting sekitar salut dan segan dengan kiprah persyarikatan Muhammadiyah kala itu.
Pencapaian posisi ditingkat cabang, tentu dimulai dari ranting. Kiai Dhimam dikatakan sebagai aktivis persyarikatan (pendekar) Muhammadiyah Banyutengah.
Hal itu paling tampak karena berdirinya madrasah dari jenjang ibtidaiyah, tsanawiyah, hingga aliyah tidak bisa lepas dari perannya. Ditambah peran strategis lain di tengah anggota persyarikatan dan masyarakat luas tentunya.
Dengan pengalaman serta jaringan di pemerintahan. Ia bersama dua pendekar lain menyiapkan berkas serta syarat pendirian madrasah kala itu. Sampai akhirnya berdiri dan diakui tiga jenjang madrasah di Perguruan Muhammadiyah Banyutengah hingga saat ini.
Dalam proses pendirian madrasah pun tidak mulus begitu saja. Akan tetapi melalui tantangan dan rintangan yang keras dan rumit. Bagaimana tenaga pengajar saat itu belum ada, maka hanya dengan dua pengajar (Dhimam dan Muskanan) madrasah tsanawiyah saat itu harus berjalan. Belum lagi masalah biaya operasional.
Honor tenaga pengajar pun tidak terpikirkan. PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) kala itu tidak mau tahu sebab kurang setuju, karena khawatir tidak mampu membiayai. Namun dengan tekad dan semangat yang kuat proses pendirian dan perjalanan madrasah tetap berlanjut dan berjalan hingga sekarang.
Salah Satu Pendiri Ponpes Al Azhar
Kiai Muskanan (1954 – 2020), satu di antara tiga pendekar warga asli desa Banyutengah. Bersama kiai Dhimam, ia mengusahakan berdiri dan diakui jenjang pendidikan tsanawiyah dan aliyah melengkapi jenjang pendidikan sebelumnya, TK dan ibtidaiyah.
Bersama dua pendekar lainnya, kiai Muskanan mengusahakan berdiri serta berjalannya (pengasuh) Pondok Pesantren al Azhar. Berlatarbelakang pendidikan pondok pesantren serta karakter yang tegas dan kharismatik, ia sangat menonjol di antara mereka bertiga.
Pembelaannya terhadap nama besar Muhammadiyah dari rongrongan warga organisasi lain, menjadikan ia disegani oleh masyarakat luas. Sejak kepulangan dari nyantri, kiai Muskanan dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang penuh persaingan (fanatisme) antar anggota organisasi masyarakat.
Muskanan muda dengan karakter kuat, tidak mau kalah dan ingin selalu mewujudkan impiannya. Pelan tapi pasti bersama dengan dua pendekar lainnya, ia mewujudkan satu per satu impian yang dicita-citakan. Meskipun kadang kala di antara mereka ada perbedaan. Namun berkat pertolongan Allah swt dan tekad yang kuat, akhirnya cita-cita itu terwujud.
Hal itu terbukti dengan bangunan perguruan Muhammadiyah Banyutengah saat ini. Para saksi hidup, masyarakat desa setempat, para alumni perguruan atau santri pondok pesantren al Azhar bisa ditanya. Insyallah akan memberikan testimoni yang senada dengan pesan yang dimaksud.
Konsintensi kiai Muskanan yang kuat dalam membela persyarikatan dibuktikan dengan mempercayakan pendidikan 10 anaknya di perguruan Muhammadiyah Banyutengah. Hampir semuanya mengeyam pendidikan mulai PAUD, TK, MI, MTs, hingga MA Muhammadiyah Banyutengah.
Pesannya yang selalu diserukan kepada warga Muhammadiyah setempat. Supaya mempercayakan pendidikan anaknya di perguruan Muhammadiyah Banyutengah.
“Siapa lagi yang akan mengisi lembaga pendidikan yang telah dibangun dan diperjuangkan oleh para orang tua dahulu, kalau bukan kita sendiri”. Pesan ini selalu menggema setiap saat, dikala melihat bangunan perguruan Muhammadiyah Banyutengah.
Pemahaman Ilmu Agama Mendalam
Selanjutnya Kiai Misbahuddin (Misbah) sama seperti kiai Dhimam. Ia bukan warga asli desa Banyutengah. Namun lahir di Blimbing Lamongan pada 24 Mei 1959 lalu. Misbahuddin muda menikah dengan seorang gadis, anak tokoh Muhammadiyah Banyutengah kala itu.
Kemampuannya dalam ilmu agama membuat ketua PRM tertarik dan menikahkan dengan salah satu putrinya.
Sosoknya yang tegas dan keras (sedikit kaku) dalam penyampaian faham keagamaan. Hal itu menjadi ciri tersendiri bagi kiai Misbah. Ia merupakan kepala madrasah ibtidaiyah Muhammadiyah Banyutengah pertama sampai dilanjutkan oleh penerusnya.
Bersama dua pendekar Muhammadiyah Banyutengah lainnya, ia menginisiasi berdirinya pondok pesantren al Azhar sekaligus menjadi pengasuhnya. Kelebihannya dalam bahasa arab dan ilmu nahwu sharaf menjadi modal mengemban tanggung jawab tersebut.
Dengan kelebihan kemampuannya itu, kiai Misbah membimbing para santri mengaji kitab kuning (arab gundul), memaknai dan mengartikan kata per kata dengan menyebutkan jabatan dalam ilmu nahwu sharaf.
Ketekunannya membimbing menjadi kenangan bagi para santri. Kenangan itu terus melekat dan menjadi pengalaman serta ilmu yang bermanfaat di kemudian hari.
Di antara para santrinya, ada yang menjadi pengasuh pondok pesantren terkenal di Mojokerto, Jawa Timur. Kenangan saat nyantri pada kiai Misbah dahulu, dipraktekkan saat mengasuh pondok pesantrennya sekarang.
Selain peran sebagai pengasuh pondok pesantren al Azhar. Kiai Misbah juga sebagai pengajar di madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah. Tidak banyak mata pelajaran yang diampu, hanya bahasa arab dan ilmu nahwu sharaf yang diajarkan pada para muridnya.
Banyak yang mengakui semenjak pelajaran bahasa arab dan ilmu nahwu sharaf diampu kiai Misbah, kemampuan siswa dalam bidang tersebut menuai banyak prestasi dan menjadi keunggulan tersendiri serta mengangkat nama perguruan Muhammadiyah Banyutengah di mata masyarakat luas.
Buku diktat karyanya, berisi ringkasan ilmu nahwu sharaf sangat bermanfaat dan cocok bagi pemula yang ingin belajar ilmu tersebut, karena sistematikanya sederhana dan mudah difahami.
Kini tiga pendekar itu berkurang satu orang. Kiai Muskanan telah kembali pada Allah swt. Hingga kapan dua pendekar lainnya sebagai penyulu bagi warga Muhammadiyah Banyutengah.
Kenangan itu biasa hadir saat bulan ramadhan tiba. Sewaktu tiga pendekar itu memberi nasehat setelah tarawih dan subuh. Siapkah kader-kader ini melanjutkan …!
Penulis Anshori, Editor Danar Trivasya Fikri