Oleh M Ainul Yaqin Ahsan MPd – PRM Kadungrembug
PWMU.CO – Dalam simulasi game seperti Crusaders, pemain bertindak sebagai kepala negara yang mengelola sumber daya dan pajak untuk membangun perekonomian. Meskipun hanya simulasi, game tersebut menggambarkan realitas pentingnya pajak sebagai tulang punggung pendapatan negara. Dalam game itu, pemain dihadapkan pada dilema: meningkatkan pajak untuk menambah kas negara tetapi berisiko menurunkan kepuasan rakyat. Kemudian dapat menimbulkan gejolak sosial yang berujung pada kerusuhan atau stagnasi ekonomi.
Tidak jauh berbeda dari yang ada pada permainan (game) tersebut, negara yang bergantung pada pajak pasti menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara pendapatan dan stabilitas sosial.
Pajak sebagai pendapatan utama negara
Pajak adalah pungutan wajib oleh pemerintah kepada masyarakat dan entitas bisnis untuk membiayai pengeluaran publik. Di Indonesia, lebih dari 75% pendapatan negara berasal dari pajak. Data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia menunjukkan bahwa pada 2023 realisasi penerimaan pajak Indonesia mencapai 80,6% dari total pendapatan negara. Sisanya berasal dari pendapatan bukan pajak, seperti minyak dan gas alam, serta pinjaman.
Namun sesungguhnya ketergantungan pada pajak juga merupakan cermin kelemahan. Negara-negara yang ekonominya kuat biasanya memiliki diversifikasi pendapatan. Contohnya adalah Negara Arab Saudi. Arab Saudi menggali pendapatan negara dalam jumlah besar dari minyak. Sedangkan Negara Norwegia mengandalkan dari sektor energi dan dana pensiun. Marilah kita bandingkan dengan Indonesia yang meskipun kaya sumber daya alam, tetapi hanya 15–25% pendapatannya yang berasal dari sektor non pajak. Hal ini menunjukkan lemahnya optimalisasi kekayaan alam.
Kebijakan Kenaikan Pajak dan Dampaknya
Pada awal 2025 mendatang Pemerintah Indonesia berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Ini merupakan salah satu tarif tertinggi di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, PPN di Singapura sebesar 9%, Malaysia sebesar 10%, dan Thailand sebesar 7%. Ironisnya, PPN Singapura lebih rendah meskipun tingkat pendapatan per kapitanya jauh lebih tinggi daripada Indonesia.
Langsung atau tidak langsung, kenaikan PPN berdampak signifikan. Harga barang dan jasa otomatis naik, sehingga semakin membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Menurut analisis ekonom Universitas Indonesia (UI), setiap kenaikan 1% pada tarif PPN meningkatkan inflasi hingga 0,3%. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun.
Dampak tidak langsungnya adalah penurunan investasi dan produktivitas. Ketika pajak meningkat, industry cenderung mengalihkan biaya tambahannya kepada konsumen. Dampaknya tidak hanya pada sektor barang kebutuhan pokok, namun juga berdampak pada sektor strategis seperti kesehatan dan pendidikan, yang juga dikenai pajak.
Masalah kepercayaan terhadap pengelolaan pajak
Alasan utama masyarakat menolak kenaikan pajak adalah lemahnya kepercayaan pada pengelolaan dana publik. Data dari Transparency International menempatkan Indonesia pada berada peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023.
Khusus pada sektor pajak, kasus besar seperti korupsi pejabat Ditjen Pajak menjadi cermin bahwa pengelolaan pajak cenderung tidak transparan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada 2023 terdapat 791 kasus korupsi yang menyeret 1.695 orang tersangka. Sebagian besar kasus korupsi ini berkaitan dengan manipulasi pajak, pungutan liar, dan penggelapan dana publik.
Fenomena ini menguatkan persepsi masyarakat bahwa pajak sering hanya menjadi alat bagi elite untuk memperkaya diri. Akibatnya, masyarakat kian skeptis terhadap kebijakan kenaikan pajak. Terutama jika kenaikan tersebut terasa sangat memberatkan masyarakat kecil daripada elit.
Diversifikasi pendapatan sebagai solusi
Ketergantungan yang besar pada pajak mencerminkan ketidakberdayaan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya alam dan sektor-sektor lain. Indonesia yang memiliki cadangan tambang, batu bara, dan energi terbarukan yang besar, tetapi kontribusinya terhadap pendapatan negara masih sangat minim. Hal ini sebagai akibat dari lemahnya regulasi, maraknya korupsi, dan kurangnya investasi teknologi.
Belajar dari negara Norwegia, Indonesia dapat membentuk sovereign wealth fund untuk mengelola kekayaan sumber daya. Norwegia menggunakan dana tersebut untuk berinvestasi pada sektor produksi dan menciptakan pendapatan pasif. Selain itu, efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara juga dapat mengurangi kebutuhan terhadap pajak.
Selain diversifikasi, langkah reformasi seperti digitalisasi pajak, transparansi penggunaan pajak, dan insentif bagi pelaku usaha dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih sehat tanpa terlalu membebani masyarakat melalui pajak tinggi.
Membutuhkan keseimbangan baru
Game sebagaimana Crusaders mengajarkan kepada kita bahwa betapa pentingnya strategi dan keseimbangan dalam pengelolaan negara. Pajak memang menjadi tulang punggung keuangan negara, tetapi ketergantungan yang berlebihan justru menjadi tanda lemahnya sistem ekonomi.
Indonesia dengan potensi sumber dayanya yang besar seharusnya mampu mengurangi ketergantungannya pada pajak. Reformasi sistem perpajakan dan peningkatan pendapatan non pajak menjadi langkah krusial untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan. Ketika kebijakan perpajakan berdasarkan pada kepercayaan masyarakat dan pengelolaan yang transparan, maka saat itulah masyarakat dapat menerima kebijakan pajak tanpa menimbulkan gejolak sosial.
Editor Notonegoro