Oleh Moh Helman Sueb – Pembina Pesantren Muhammadiyah Babat, Lamongan
PWMU.CO – Ada sebuah ungkapan dalam Bahasa Arab “al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan”, yang artinya “manusia tempat salah dan lupa”. Para penceramah sering menggunakan ungkapan ini saat memberikan tausiah. Karena seringnya, sebagian orang mengiranya sebuah hadis — padahal sekedar ungkapan, bukan hadis.
Meski bukan hadis, ungkapan tersebut bisa jadi ada benarnya. Hati manusia yang cenderung berubah-ubah memungkinkan sekali untuk berbuat salah dan lupa. Seseorang yang biasanya lurus dalam segala tindakannya, terkadang dapat pula lupa dan kemudian melakukan kesalahan atau pelanggaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai adanya seseorang yang melakukan kesalahan, tetapi tidak merasa bersalah. Sehingga kesalahan itu pun berubah menjadi kebiasaan. Makin sering terbiasa melakukan kesalahan, semakin menjauh dan menjadi masa bodoh untuk memikirkan masalah bertaubat.
Sikap dan sifat masa bodoh terhadap perilaku yang salah — yang mungkin awalnya sekedar faktor lupa — karena kebiasaan negatif itu telah mendarah dalam jiwa. Karenanya, kekuatan untuk menyadari kesalahan dan kelupaan itu harus bisa bangkit Kembali.
Meski sesungguhnya, yang bisa menyebabkan diri kita menjauh dari hasrat untuk bertaubat bukan hanya sifat salah dan lupa, tetapi juga pengaruh godaan nafsu untuk mengikuti langkah syetan. Akibatnya segala tindakan menjadi salah, bahkan sampai melupakan kebenaran yang sesungguhnya.
Ayo kita bangkitkan gairah bertaubat
Sebagai seorang Muslim, InsyaAllah kita telah paham bahwa bertaubat merupakan langkah terbaik setelah melakukan penyimpangan maupun meninggalkan kewajiban, baik sadar maupun tidak sadar.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala, Tuhan yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun, telah membuka lebar-lebar pintu taubat atas segala kekhilafan dan kesalahan. Allah selalu memberikan kesempatan pada hamba-Nya yang menyesal dan berkeinginan kembali ke jalan yang benar.
Karena itu, peluang bertaubat bagi orang yang beriman sangat terbuka. Karena itu, kita tidak boleh berputus-asa, apalagi selalu melakukan perbuatan maksiat karena merasa tidak mungkin mendapatkan ampunan.
Marilah kita tempuh beberapa langkah ini untuk menghidupkan gairah bertaubat, antara lain:
Pertama, merenungi akibat buruk dari perbuatan dosa. Dosa pasti mengakibatkan pelakunya mengalami kegelisahan. Dampakanya, dapat mengurangi aktivitas yang semestinya gerak cepat dan tepat. Segala aktivitas menjadi terasa malas dan lambat. Gairah atau semangat untuk mencapai tujuan yang lebih baik dan mulia pun menjadi terhalang, atau bahkan menjadi berantakan.
Kedua, selalu ber-istighfar untuk memohon ampun kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala atas semua salah dan dosa. Istighfar menggugah hati kita untuk mengakui bahwa diri kita masih ada kesalahan atau kekhilafan. ber-istighfar merupakan bagian dari pengakuan ada dosa-dosa yang kita lakukan. Bukankah terkadang tidak sadar kita telah melakukan perbuatan yang masuk kategori pebuatan dosa? Misalnya, menghina orang lain atau juga menghina makhluk Allah yang lain, merasa paling hebat, pembunuhan karakter (bullying), bersikap sombong,berdusta, dan sebagainya.
Ketiga, merenungkan semua perbuatan yang berkategori perbuatan dosa. Seseorang yang telah melakukan perbuatan dosa pasti selalu merasa gelisah. Karena itu, jika kita mau merenungi dan merasakan akibatnya, maka akan membawa diri kita untuk bergairah dalam bertaubat. Apalagi mau mengambil hikmah dari segala sanksi atau hukuman akibat dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan orang lain.
Perlu disadari bahwa panggilan untuk bertaubat bagi orang-orang yang beriman merupakan bentuk dari Kasih Sayang Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Harapannya agar orang-orang yang beriman tetap lurus sebagai orang-orang yang mendapat kemenangan.
Kesempatan untuk bertaubat jangan sampai tersia-siakan oleh sikap malas atau merasa dosanya tak mungkin terampuni. Yakinlah bahwa jika kita termasuk dalam golongan orang -orang yang selalu bertaubat kepada Allah, pasti kita akan mendapatkan keberuntungan serta ampunan dari Allah Yang Maha Kasih.
Editor Notonegoro