Oleh: Alfi Saifullah – penulis kolom, buku biografi & sejarah
PWMU.CO – transformasi teknologi yang melesat cepat telah mengubah wajah ekonomi dunia. Adanya transformasi digital telah menciptakan ruang tanpa sekat bagi para pelaku ekonomi. Kegiatan ekonomi semakin mudah, perputarannya semakin cepat, dan kendali pergerakannya cukup dari ujung jari — sejauh panjang dan lebar layar gadget. Namun harus menyadari, meski dalam level-level tertentu sangat bermanfaat, efek negatifnya tidak kalah banyaknya.
Buya AR Sutan Mansur, ulama dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1953-1959 telah memberikan nasihat terkait kemajuan ekonomi yang tak terelakkan. Nasihat itu tertuang dalam Majalah Suara Mesjid tahun 1975. Buya Sutan Mansur menulis artikel berjudul ‘Membina Kehidupan Masyarakat Islami’ untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-39 di Padang. Artikel yang sudah berusia 49 tahun itu, saat ini masih terasa relevansinya dalam kehidupan umat Islam di Era 4.0 dengan segenap problematikanya.
Realitas global
Buya Sutan Mansur mengatakan, “motif ekonomi yang ada sekarang ini adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan kapital sekecil-kecilnya, dengan mempersingkat waktu dan melipatgandakan tenaga dengan kecepatan yang sehebat-hebatnya”. Kini perlahan-lahan moralitas semakin terkikis. Jika tetap melakukan pembiaran, fungsi manusia sebagai mahluk sosial dan khalifatullah di muka bumi pasti berada pada ambang kehancuran.
Lebih lanjut Buya mengungkapkan tentang dampak negatif dari kemajuan ekonomi, yaitu “kenyataan membuktikan bahwa perlombaan penghidupan dan kehidupan atau perekonomian akhirnya menimbulkan perang, dunia terbakar, kemakmuran hancur lebur, keamanan lenyap, akhlak manusia remuk.”
Apa yang di tandaskan Buya Sutan Mansur tersebut seakan membenarkan tesis Thomas Hobbes tentang “Homo Homini Lupus”, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Viktor Frankl dalam “Man’s Search for Meaning” mengatakan bahwa manusia akan mengalamai fase-fase eksistensial krisis (krisis eksistensi). Manusia tidak tahu arah dan akan mengalami kebingungan dalam menentukan jalan hidupnya. Buya Sutan Mansur pun mengajukan sebuah pertanyaan fundamental, “Bagaimana untuk keluar dari kesulitan yang buas ini? Di manakah negeri yang aman?”
Mihrab sebagai titik awal perekonomian
Mihrab dalam pengertian literalnya, merupakan tempat abid menghadap ma’bud. Sebuah lokasi representasi dari prioritas dalam spiritualitas. Refleksi Buya Sutan Mansur tentang mihrab, melampaui dimensi fisiknya.
Dengan analogi sederhana dalam pemikirannya, Buya mengatakan, “Dalam ayat 9-11 surat Al-Jumu’ah, adalah menutup pasar ketika datang panggilan shalat Jum’at dan segera mendatanginya. Dan apabila selesai beribadah shalat Jum’at maka kembali ke pasar atau ke tempat Perusahaan. Dan ada peringatkan bahwa sifat ekonomi yang berjiwa ibadah itulah yang membawa pada kebahagiaan dan Tuhan akan memberi hasil rezeki yang membawa kebahagiaan”.
Secara tidak langsung, pernyataan Buya menepis narasi dominan yang sering menempatkan kesuksesan ekonomi sebagai goal setting utama dalam hidup. Dalam refleksi Buya, seorang Muslim hendaknya tidak terjebak pada materialisme yang dapat mengikis nilai-nilai spiritual. Seyogyanya seorang Muslim mendahulukan ibadah sebelum melakukan berbagai aktivitas lainnya.
Logika Buya sangat sederhana, bahwa yang pertama adalah Allah meminta penghambaan, bukan kekayaan. Firman Allah dalam QS Az-Zariyat 56 menegaskan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali beribadah kepadaKu
Kata Buya, “Tuhan menentukan dari mihrab (masjid) ke pasar, jangan dari pasar ke mihrab. Dengan kata lain dari mihrab, ke siasat. Dari Mihrab bermakna dari tempat ibadat. Maksudnya, terlebih dahulu menghadap dan memohon kepada Allah yang memiliki rizki yang menguasai alam seisinya, dan merajai segala sekalian manusia.
Maka dengan jiwa itu dia pergi mengurus perekonomian atau mengurus politik. Nasihat Buya “dari mihrab ke pasar” bukan sekadar frasa, melainkan prinsip hidup. Weltanschauung yang mesti menjadi pegangan erat setiap umat Islam. Bahwa sebelum memasuki dinamika pasar dengan berbagai tantangannya, penghambaan kepada Allah adalah fondasi utama. Segala bentuk aktivitas ekonomi harus berakar dari hubungan kepada Allah (habl min Allah) secara kokoh dan mengakar.
Dus, dengan kuatnya hubungan dengan Allah berarti menjadikan nilai-nilai Islam sebagai panduan dalam aktivitas ekonomi. Dengan begitu, aktivitas ekonomi akan berwarna dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, akan berdampak pada keberkahan hidup. Pasar menjadi perpanjangan dari mihrab, tempat penghambaan kepada Tuhan, bukan sebaliknya. Ketika mihrab dilupakan, pasar menjadi ruang yang kehilangan jiwa.
Refleksi
Dalam ekonomi digital, penyebaran arus informasi begitu deras. Segala macam informasi dengan mudah dapat diakses. Dengan sekali klik, dunia serasa ada di ujung jari kita. Dengan kemudahan yang demikian, godaan untuk mengutamakan pekerjaan di atas segalanya cenderung lebih dipentingkan.
Buya Sutan Mansur telah menawarkan solusi praktis, dari mihrab ke pasar. Hanya dengan mendahulukan ibadah, segala aktivitas kita, terutama aktivitas ekonomi akan menjadi bermakna dan terarah. Solusi yang ditawarkan oleh Buya, mengingatkan kita pada salah satu aforisme dalam Kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah As-Sakandari yang berbunyi,
اِجْتِهَادُكَ فِيمَا ضُمِنَ لَكَ، وَ تـَقْصِيْرُكَ فِيمَا طُلِبَ مِنْكَ، دَ لِيلٌ عَلَى انـــْطِمَاسِ الْــبَصِيْرةِ مِنْكَ
Kesungguhanmu dalam mencari sesuatu yang telah dijamin Allah buatmu (ekonomi), sementara engkau lalai terhadap kewajibanmu kepada Allah, adalah tanda tanda butanya mata hatimu.
Jika ibadah telah menjadi prioritas utama umat Islam, menurut Buya Sutan Mansur, maka umat Islam akan berpayung dengan jiwa Ketuhanan. Nilai ketuhanan merasuk kedalam samudera jiwanya, bukan sekadar kata-kata yang indah di lisan. Menurut Buya, “golongan ini berpayung jiwa Ketuhanan. Tuhan Allah Yang Maha Suci. Tuhannya bukan terlihat secara fisik oleh mata manusia, tapi terlihat oleh mata akal dan hatinya. Dia meyakini terlihat oleh Tuhan-Nya, sekaligus dia menyaksikan pula kekuasaan Tuhan yang nyata — dihadapan matanya orang-orang yang berbuat maksiat — agar bertambah yakin. Sebab mihrab (masjid) itu membuka hati menerima petunjuk, dan dia terus berusaha meyakini petunjuk itu dalam kehidupan sehari-hari”.
Pendek kata, Buya Sutan Mansur menghendaki umat Islam untuk mengalami transformasi taraf penghambaan kepada Allah. Dari muslim menuju mu’min, dan dari mu’min menuju muhsin. Dengan demikian, secara psikologis akan mampu survive di tengah perubahan yang tak terelakkan. Wallahu a’lamu bish sahawab.
Editor Notonegoro