Oleh Imam Robandi – Penggagas dan Perancang Olimpiade Olycon, Olympicad, dan Olyq
PWMU.CO – Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki 399.376 sekolah. 5.346 atau sekitar 1,33 persennya merupakan sekolah yang berada dalam naungan Persyarikatan Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah masih sangat berkesempatan untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pembangunan peradaban bangsa dan masyarakat melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah baru.
Sebab itulah, memupuk dinamika pergerakan sekolah-sekolah Muhammadiyah merupakan keniscayaan, dan pergerakannya harus lebih dipercepat dan penuh kreativitas. Selain itu, juga masih harus banyak berbenah, karena masih banyak Sekolah Muhammadiyah yang belum berada pada ranking 50 SMA/MA/SMK terbaik Indonesia menurut versi UTBK.
Tradisi ber-olimpiade
Olimpiade menjadi tradisi baru pada Muhammadiyah selama dua dekade terakhir ini. Dalam tinjauan sistem pendidikan, banyak para pakar pendidikan yang menilai bahwa olimpiade adalah kegiatan yang bernuansa pragmatis.
Sebagian masyarakat juga ada yang beranggapan bahwa beberapa teknik untuk mengukur ketangkasan siswa yang bersifat motorik dapat melalui olimpiade. Mengikuti olimpiade adalah salah satu metode untuk melihat keterampilan (skill) dan bakat siswa, walaupun pendapat ini belum teruji secara ilmiah. Dalam hal ini mereka beranggapan bahwa olimpiade menjadi sangat penting dalam mempersiapkan para murid untuk bertahan dalam segala iklim persaingan yang semakin ketat, terutama di perkotaan.
Penerimaan terhadap olimpiade baru sebatas memenuhi harapan peserta untuk meningkatkan kemampuan akademiknya semata. Padahal seharusnya desain olimpiade adalah untuk mengevaluasi pemahaman konseptual siswa tentang berbagai disiplin ilmu. Penyelenggara harus menyediakan kurikulum khusus olimpiade untuk mengidentifikasi kemampuan generasi yang akan datang. Jika pendekatan ini yang terpakai, maka sebuah olimpiade akan seiring dengan konsep-konsep pendidikan positif yang sesuai dengan sistem yang ada.
Sebaliknya, jika soal-soal olimpiade hanya tersaji dalam bentuk pilihan ganda dan murid menyerahkan dirinya dalam persiapan pada bimbingan belajar, atau sekedar bermain-main melalui try out agar tepat sasaran dalam memilih jawaban soal, maka rusaklah sistem pembelajaran, dan menjauhkan mereka dari visi-misi sekolah. Faktanya, sering terjadi cara pandang pragmatisme seperti itu di sekitar kita.
Olimpiade dapat memengaruhi aspirasi terutama untuk masa depan para siswa itu sendiri. Mereka telah memperoleh banyak medali yang dapat berguna sebagai modal melanjutkan ke cita-cita berikutnya. Orang tuanya dan juga sekolahnya pun ikut terkenal.
Oke dech jika memang iklimnya masih seperti itu, karena masing-masing harapan pada dunia ini tidak sama dan tidak semua dapat terselesaikan secara konvergen dan bulat-bulat.
Ada sisi positif yang masih menjadi harapan dari kegiatan olimpiade. Peserta olimpiade dapat meningkatkan kepercayaan diri, sehingga mendapat pengalaman berjuang untuk menjadi yang terbaik. Karena kepercayaan diri siswa dapat meningkat secara signifikan ketika mereka berprestasi dalam olimpiade.
Keberhasilan olimpiade juga dapat berdampak positif pada keberhasilan anak dalam menuntaskan kurikulum sekolah mereka. Ketika siswa menghadapi pertanyaan sulit secara teratur, keterampilan analitik mereka dapat meningkat secara substantif.
Artinya, olimpiade harus menjadi bagian kurikulum yang tersusun secara integratif. Bukan sebaliknya, yang gurunya sekedar mengajarkan atau tepatnya melatih menjawab soal-soal seperti mereka saat mengikuti rombongan bimbel, yang pengujian kemampuannya melalui try out. Jika ini yang terjadi, sistem pendidikan sesungguhnya telah terbungkam oleh sistem olimpiade ala bimbel. Meski tak terpungkiri bahwa saat ini masih banyak peminatnya, terutama di negara-negara berkembang.
Kita harus dapat menemukan emas di tengah gunung pasir. Olimpiade tetap memiliki sisi positif, yaitu sebagai ajang bersilaturahim, berlatih dalam tim kerja (team work), dan memupuk semangat berkompetisi dalam kebaikan.
Olimpiade Sekolah Muhammadiyah
Olimpiade berskala besar oleh Muhammadiyah telah ada sejak tahun 2007. Saat itu bernama Olycon dengan memadukan antara konferensi untuk para guru dan kegiatan olimpiade untuk para murid. Olycon pada tahun 2009 pesertanya hampir mendekati 20 ribu orang.
Meski penyelenggaranya pada level wilayah, yaitu Majelis Dikdasmen PWM Jawa Timur, tetapi para pesertanya hampir dari seluruh Indonesia. Bahkan ada pula peserta dari luar Sekolah Muhammadiyah. Hal ini menandakan bahwa olimpiade ala Muhammadiyah ini sesungguhnya olimpiade untuk Indonesia. Saat itu medali emas untuk “olimpiade bidang Islam dan Kemuhammadiyahan” pernah dimenangkan oleh siswa dari SMA Negeri dari Kabupaten Pamekasan. Sedang medali emas untuk “olimpiade bidang IPA dan Matematika” diboyong siswa dari SMP Negeri dari Tulungagung.
Dari sini kita dapat melakukan evaluasi bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah harus berani membuka diri dan berbenah agar dapat bersaing dengan sekolah-sekolah non Muhammadiyah. Bukan sekedar bersaing dengan sesama sekolah Muhammadiyah, dan yang menang adalah sekolah Muhammadiyah. Juga yang kalah adalah sekolah Muhammadiyah.
Begitu juga Olympicad, yang pada saat awal agar bercita-rasa Indonesia. Cikal bakal nama Olympicad digagas dan dirancang di Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM) 4 Pucang dan SDM 26 Surabaya, untuk persembahan bagi Indonesia. Saat itu ada yang menanyakan kepanjangan “Olympicad”. Dan spontan dijawab secara sederhana, “Olimpiade Ahmad Dahlan”. Mengapa bukan OAD? Pertimbangan saat itu, karena jika menggunakan OAD, maka kurang easy listening dan kurang menambah branded value.
Begitu juga dengan OLYQ — olimpiade internasional oleh para Kepala Sekolah Muhammadiyah — yang saat itu sudah tiga kali terselenggara. Yaitu di Cilacap, Jakarta (Uhamka), dan Stadion Arcamanik Kota Bandung. Pesertanya membludak dari sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Selain sekolah Muhammadiyah, ikut pula para siswa dari sekolah di Malaysia, Singapore, dan Thailand. Memang olimpiade ini adalah olimpiade Muhammadiyah yang cita-rasa ASEAN.
OLYQ menjadi sangat membahana dan heroik, karena sistem pemedaliannya melalui sistem persentase (%). 10% terbaik memperoleh medali emas, 10% berikutnya medali perak, dan 10% lagi bermedali perunggu. Sisanya memperoleh sertifikat sebagai peserta aktif olimpiade internasional. Jauh-jauh datang dari Papua dan Sumatera Utara ke olimpiade, dan pulang membawa sertifikat internasional. Tidak ada seorang pun peserta olimpiade yang pulang tanpa membawa sertifikat. Para siswa berangkat dengan rasa senang, dan pulang ke daerah masing-masing dengan rasa bahagia. Olimpiade harus membahagiakan.
Olimpiade untuk semua
Pengakuan masyarakat bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang inklusif (atau tidak eksklusif). Sekolah-sekolah Muhammadiyah sangat terbuka untuk semua, dan siapa saja harus dapat bergaul dengan siapa saja. Ini adalah strategi dakwah Muhammadiyah yang sangat bisa diterima siapapun, termasuk masyarakat internasional. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak hidup dalam ruang tertutup, tetapi bersatu padu dengan sekolah dan masyarakat manapun untuk bersama membangun bangsa. Walaupun jumlah sekolah Muhammadiyah tidak melebihi dua persen dari jumlah sekolah secara keseluruhan, tetapi gerakan dakwahnya sangat terukur dan berdampak pada kehidupan bangsa. Seluruh anak bangsa dapat menyaksikan kehadiran Muhammadiyah dalam mewujudkan kemakmuran untuk bersama.
Akhirnya, terkadang kita menjadi bertanya-tanya. Setelah kita pulang membawa medali olimpiade, siswa kita berhasil membawa medali emas setelah mengalahkan siswa lain dari rombongan yang sebenarnya skupnya tidak luas. Atau sebutlah kita mengalahkan kita. Artinya prestasi kita masih belum teruji secara Indonesia, masih ratusan ribu siswa di luar sana yang masih belum pernah berkompetisi dengan siswa dari sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Padahal secara nyata dalam kehidupan duniawi mereka semua setiap hari berkompetisi secara alami untuk menjadi yang terbaik tanpa mengenal dari mana asal sekolah, atau bahkan negara. Kita justru masih berkompetisi dalam skup sempit, medali dan sertifikat yang kita peroleh juga tidak berguna secara luas. Kita sangat menyayangkan karena tenaga dan biaya yang terpakai sudah sangat besar, tetapi sertifikat tidak mendapat pengakuan dari publik.
Penyelenggaraan olimpiade-olimpiade oleh Muhammadiyah pada semua tingkatan perlu melibatkan partisipasi masyarakat luas. Agar kualitas olimpiadenya menjadi berkualitas yang teruji secara luas. Sang juara yang memperoleh medali menjadi milik publik, milik manusia satu bangsa. Ini menjadi keniscayaan agar sekolah-sekolah Muhammadiyah bisa percaya ciri dalam pergaulan dan berkompetisi dengan sekolah manapun dari seluruh pelosok Tanah Air, termasuk sekolah-sekolah yang dari luar negeri.
Olimpiade yang terpercaya
Menyelenggarakan olimpiade bukan hal yang mudah, karena membutuhkan manajemen yang akurat dan dapat terpercaya. Mulai dari panitia penyelenggaraan, pengadaan naskah soal, dewan juri, hingga prosesnya. Naskah soal harus merupakan karya orang-orang yang berasal bukan dari sekolah, karena pasti akan muncul kepentingan-kepentingan. Muridnya yang berolimpiade, dan kepala sekolah atau gurunya terlibat pembuatan soal, pasti aka nada penurunan kepercayaan.
Pembuatan soal harus diserahkan kepada Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) atau pengurus majelis yang mempunyai banyak pakar dan ahli pada bidangnya. Mereka mempunyai banyak doktor senior dan profesor dengan jam terbang tinggi dalam hal evaluasi dan riset. Begitu juga dewan juri atau penguji, hindari keterlibatan para guru dan kepala sekolah manapun terlibat. Jika ini dapat berjalan dengan baik, maka olimpiade Muhammadiyah akan berwibawa dan bersih dari sandungan-sandungan. Hasilnya pun akan mengangkat olimpiade modern yang sangat terpercaya, yang bukan hanya pada kalangan Muhammadiyah saja, tetapi juga masyarakat Indonesia.
Editor Notonegoro