PWMU.CO – Sri Lestari, seorang dosen dan pakar gender dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), memberikan tanggapan terkait kebijakan Penjabat (Pj) Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Teguh Setyabudi, mengenai izin berpoligami bagi ASN di lingkungan Pemprov DKJ. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian, yang diterbitkan pada 6 Januari 2025.
“Terdapat beberapa poin penting yang patut dikiritik terkait persyaratan yang membolehkan poligami. Justru persyaratan itu menunjukkan bahwa peraturan ini masih diskriminatif terhadap perempuan,” jelas Tari Selasa (21/01/2025) dilansir dari web um-surabaya.ac.id.
Tari menyebut, persyaratan tentang ketidakmampuan istri memenuhi kewajibannya bisa saja ditafsirkan beragam karena tidak dijelaskan secara detail.
“Apa yang dimaksud dengan kewajiban istri di sini? Jika kaitannya dengan kewajiban yang bersifat domestik, tentu ini sungguh bias gender,” tuturnya.
Lebih lanjut kata Tari, terkait persyaratan lainnya berkaitan ketidakberdayaan istri karena penyakit atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan. Syarat ini menuai perdebatan karena dianggap memandang istri hanya sebagai objek dalam pernikahan.
“Istri yang sakit seolah dipandang dalam pasal ini seperti sudah tidak berfungsi sehingga layak ditinggalkan,” tambah Tari.
Selain itu, syarat terkait ketidakmampuan istri melahirkan anak selama sepuluh tahun memperlihatkan seolah fertilitas hanya urusan istri. Padahal, kondisi infertilitas bisa juga dialami oleh suami.
Poligami bagi ASN
Setelah mendapatkan protes, pemerintah menyanggah bahwa aturan ini justru menjadi perlindungan bagi perempuan karena bertujuan untuk memperketat aturan perceraian ataupun menikah kembali bagi ASN.
“Memang ada beberapa syarat lain seperti memiliki penghasilan yang cukup, mendapatkan persetujuan tertulis istri, dan dapat berlaku adil yang masih tidak jelas ukuran adil yang bagaimana,” tambahnya lagi.
Namun Tari menegaskan, peraturan ini masih memiliki banyak poin yang diskriminatif terhadap perempuan.
“Seharusnya, jika memang tujuannya untuk melindungi perempuan sebagai istri ASN bukan dengan pasal poligami namun pasal-pasal yang mengatur hak-hak mereka sebagai istri ASN,” tutupnya. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Azrohal Hasan