Oleh Fathya Kamila – Mahasiwa UM Surabaya
PWMU.CO – Program Makan Siang Gratis (MSG) menjadi program inisiatif Presiden Prabowo Subianto — sekaligus sebagai pemenuhan janji saat kampanye capres pada Pemilu 2024 lalu — yang sangat baik dan menarik. MSG juga berpotensi memberi efek signifikan untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, terutama bagi anak-anak dan keluarga kurang mampu.
Program MSG ini juga berorientasi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas gizi pada ibu hamil dan anak-anak. Agar mereka dapat terentaskan dari ancaman stunting di Indonesia. Meski demikian, tidak terpungkiri bahwa setiap program kerja, pada tataran implementasinya bukan tanpa kendala. Tidak jarang justru menghadapi sejumlah tantangan dan rintangan dari berbagai pihak.
Sorotan terhadap program MSG
Saat pertamakali program MSG diaktualisasikan dalam bentuk aksi nyata, ada persoalan terkait kualitas dan keamanan makanan yang tersaji. Minggu pertama pelaksanaan, dari Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan terlaporkan adanya insiden keracunan makanan dari program MSG. Puluhan siswa mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan yang ada. Insiden tersebut memantik kekhawatiran terkait standar kebersihan dan pengawasan dalam penyediaan makanan. Akhirnya, pemerintah pun mewajibkan tersedianya tempat penyimpanan yang baik. Tujuannya agar makanan yang hendak didistribusikan tidak mudah basi, dan kualitas nya tetap terjamin.
Selain soal kualitas dan keamanan makanan, hal yang tidak luput dari sorotan publik adalah keserentakan aktualisasi program yang belum sesuai harapan. Faktanya, belum semua wilayah atau daerah langsung mendapatkan makan siang gratis. Hingga tulisan ini dibuat, masih banyak daerah yang belum mendapatkan program MSG ini.
Belum mampunya pelaksanaan MSG secara masif tersebut, antara lain penyebabnya adalah sangat terbatasnya petugas di bagian distribusi makanan. Selain juga adanya indikasi pendistribusian yang tidak tepat sasaran atau bahkan sengaja untuk tidak di distribusi secara langsung kepada masyarakat.
Ada pula pertanyaan kritis terkait dengan kualitas gizi yang tersaji dalam program MSG. Ada analisis terhadap menu yang konon belum sesuai dengan Standar Angka Kecukupan Gizi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019. Karena itu, ada kesangsian mengenai efektivitas dari program MSG dalam mencapai tujuan peningkatan gizi.
Dari sisi sosial, program MSG ini juga bisa memberikan efek negatif berupa ketergantungan pada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizinya dalam makanan. Misalnya, adanya anggapan bahwa melalui MSG maka kebutuhan akan gizi otomatis sudah cukup terpenuhi karena.
Problem anggaran dan logistik
Perkiraannya, pelaksanaan program MSG ini akan menelan biaya sebesar sebesar 71 triliun untuk menyasar sekitar 82 juta jiwa penerima per tahun. Pertanyaannya, akan tergali dari manakah kebutuhana anggaran sebesar itu?
Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri terkait keberlanjutan anggaran MSG. Dan pastinya potensi membebani anggaran negara yang sedang tidak baik-baik saja. Tidak berlebihan jika sejumlah lembaga pemeringkat kredit internasional menyatakan keprihatinannya karena program ini dapat membebani keuangan negara dan mempengaruhi stabilitas ekonomi.
Selain masalah anggaran, program ini juga memerlukan pembangunan sekitar 30.000 dapur hingga pada tahun 2027 untuk memenuhi kebutuhan distribusi makanan. Tantangan ini mencakup koordinasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, serta memastikan rantai pasokan makanan aman dan efisien.
Perlu digarisbawahi juga bahwa program MSG sangat rentan mengalami penyalahgunaan dana. Bukan tidak mungkin dana yang seharusnya berguna untuk makan siang gratis justru beralih fungsi untuk kepentingan berbeda, atau bahkan justru menjadi bahan bancak’an korupsi.
Secara umum, sebenarnya masih terdapat banyak keterbatasan terkait sumber daya yang berpotensi menjadi salah satu kendala agar program ini berjalan lancar. Sumber daya ini meliputi sumber daya manusia, sumber daya makanan, atau pun sumber daya logistik. Ketersediaan ketiga sumber daya tersebut merupakan problem utama bagi daerah-daerah dengan APBD rendah. Pertimbangan akan perubahan harga bahan baku MSG akibat adanya inflasi harus menjadi perhatian serius.
Harapan pada pemerintah
Kritik-kritik konstruktif, baik karena berlatar belakang dari rasa khawatir atau untuk meningkatan program MSG. Kritik perlu adanya agar bisa lebih baik, pemerintah harus mendengarkan secara bijak dan legowo. Termasuk juga adanya sejumlah keraguan dari publik akan suksesnya program MSG ini, pemerintah harus tetap menjaga komitmennya dan berjanji untuk selalu meningkatkan kualitas dan pelaksanaan program.
Publik harus konsisten pula dalam memberikan respon, kritik maupun masukan untuk kebaikan dan keberlangsungan program MSG ini. Termasuk pemantauan terhadap kualitas dan kuantitas menu agar sesuai dengan ketentuan. Tidak ada cara paling efektif selain pemerintah mau menjalin dan berkoordinasi dengan seluruh organ kemasyarakatan yang ada.
Lepas dari sorotan publik, serta ancaman yang berpotensi menghambatnya. Program MSG berpeluang besar dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Editor Notonegoro