PWMU.CO – Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban Prof Din Syamsuddin menjadi pembicara pada The 9th World Chinese Economic Summit atau Pertemuan Puncak Ekonomi China di Hongkong, Senin (13/11/17).
Pertemuan Puncak tersebut merupakan agenda tahunan para Tionghoa diaspora dari seluruh dunia dan telah berlangsung sejak 2008.
Pertemuan ke-9, yang berlangsung di Hongkong, 13-14 November 2917, dihadiri sekitar 350 tokoh Tionghoa diaspora, yang mayoritas terdiri dari para pengusaha.
Pertemuan kali ini mengangkat tema “Managing Global Uncertainty, Exploring Opportunities” atau “Mengelola Ketakpastian Dunia, Mengungkap Peluang-peluang”.
Din, yang diundang dalam kapasitas sebagai Utusan Khusus Presiden, mendapat giliran menjadi salah seorang panelis pada sesi pertama tetang Amerika Serikat, China, dan optimisme menghadapi ketakpastian dunia.
Dalam presentasinya dia mengatakan bahwa memang dunia tengah menghadapi, bukan hanya ketakpastian tapi juga kekacauan dan kerusakan akumulatif.
Menurutnya, hal ini sebenarnya berpangkal pada Sistem Dunia (World System) yang rancu. Kerancuan itu, kata Din, menurunkan sub-sub sistem dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang juga mengandung kerancuan.
Hal inilah yang memunculkan “ketiadaan damai” (the absence of peace) dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, ketakdilan, kekerasan dalam berbagai bentuknya, hingga kerusakan lingkungan hidup.
Solusi terhadap kerusakan peradaban dunia tersebut, menurut Din, dengan mengubah Sistem Dunia itu sendiri.
Selama inim kata Din, Sistem Dunia terlalu berwajah antroposentristik (menjadikan manusia sebaga pusat kesadaran) dan kurang berwajah teosentristik (Tuhan sebagai pusat kesadaran).
“Akibatnya, peradaban dunia kering-kerontang dari nilai-nilai etika dan moral. Dalam bidang ekonomi terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, yang kemudian menciptakan kesenjangan dan ketakadilan,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu.
Dalam bidang politik, tambahnya, terjadi proses zero sum game, yakni kecenderungan saling menafikan dan mendominasi, yang sering menimbulkan konflik. “Begitu pula dalam bidang budaya merajalela budaya liberal dan hedonis,” ujarnya.
Ketika ditanya moderator, negara mana yang tepat dan selama dua dasawarsa terakhir menerapkan kekuatan lembut (soft power) dalam menanggulangi kerusakan peradaban dunia itu, Din secara spontan menyebut Indonesia, yang langsung disambut tawa dan tepuk tangan sebagian peserta yang memenuhi Ballroom Shangrila Hotel, Hongkong.
Dalam jawabannya, Guru Besar Politik Islam Global Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan untuk menanggulangi kerusakan dunia yang bersifat akumulatif, diperlukan peran negara atau koalisi negara-negara dengan posisi tengahan (median position).
“Indonesia, dalam hal ini, merupakan negara dengan posisi tengahan dan orientasi jalan tengah (the middle way). Negara-negara dengan watak dan corak seperti ini akan dapat tampil sebagai problem solver atau penyelesai masalah-masalah dunia.
Dalam kaitan kebangkitan China dewasa ini, Din menegaskan, kebangkitan itu harus diselenggarakan dalam suatu wawasan kawasan Asia Timur dan lewat mekanisme internasional. “Jika tidak demikian, yakni China tampil agresif apalagi penetratif terhadap negara-negara lain,” kata Din.
Kebangkitan China dengan ambisi One Belt One Road (OBOR), menurut Din, akan potensial menimbulkan ketegangan dunia, karena China hanya melanjutkan perilaku Amerika Serikat yang hegemonik selama ini.
Din menyerukan agar dikembangkan budaya hubungan internasional yang berlangsung atas semangat dialog dan kerjasama yang saling menguntungkan dan berorientasi pada kesadaran mondial akan Satu Kemanusiaan, Satu Tujuan, dan Satu Tanggung Jawab (One Humanity, One Destiny, One Responsibility). (MN)