PWMU.CO – Ketertinggalan bangsa Indonesia salah satunya diyakini karena tradisi literasi yang masih rendah. Sejumlah kegelisahan mengemuka akibat literasi yang masih kering. Apa sajakah?
Forum sharing Kopdarnas Literasi bersama para pegiat dan relawan baca yang berlangsung di Kampus 1 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), 8-9 Desember 2017, mengungkap semua keprihatinan tersebut.
Faiz Ahsoul dari Pegiat Literasi Indonesia/Radio Buku misalnya, menyatakan pentingnya penyadaran literasi melalui membaca.
“Membaca buku sangat penting karena mampu mengantarkan pembaca pada kedalaman makna, wisdom, dan hikmah, dari tulisan buku. Itu yang akan mengikat pembaca sehingga benar-benar memahami,” kata Faiz Ahsoul, Sabtu (9/12) lalu.
Ia kemudian memisalkan membaca konten media massa dengan sebuah buku. Menurutnya, literasi dengan membaca berita hanya di beranda, sementara membaca buku itu sampai ke dapur.
“(Yang dibaca) Di media massa sekadar informasi, terlebih portal. Tetapi, apa yang dikandung dalam buku lebih utuh. Dari buku pembaca akan mengenal metodologi, analisa dan menghasilkan kearifan (makna dan hikmah),” imbuhnya.
Menurutnya, membaca buku bahkan sekaligus bisa menjadi kontrol pada diri agar tidak terjebak pada informasi instant yang ditawarkan sosial media. Karena, kata Faiz, membanjirnya informasi yang selalu diterima begitu saja, bisa menyebabkan otak mengalami pengendapan.
“Usia SMA/SMK merupakan fase membaca kritis. Ini sangat penting menjadikan seseorang memiliki kesadaran dan kepekaan memaknai berbagai persoalan alias literate,” imbuh pria yang identik dengan penampilan gondrongnya ini.
Keringnya literasi masyarakat Indonesia juga dikhawatirkan pegiat Griya Baca Komunitas Metro Lampung, M Khoirul Huda. Ia menyebutkan beberapa kegelisahan akibat literasi yang kering. Di antaranya, jumlah toko buku yang terus menyusut dan politik perbukuan yang kurang berpihak pada penulis serta sangat mahalnya buku-buku untuk bisa ke tangan pembaca.
“Ada ketimpangan budaya juga, di mana di Indonesia justru banyak menerima karya buku sastra terjemahan. Sebaliknya, tidak menerbitkan dan mengorbitkan penulis sastra ke luar negeri. Apresiasi terhadap lahirnya buku-buku baru masih kurang,” tandasnya.
Nirwan Arsuka, pendiri Pustaka Bergerak menegaskan, tahapan literasi tidak sebatas membuka akses dan memproduksi produk literasi dan pengadaan buku. Lebih dari itu, menurutnya literasi juga perlu menjangkau lebih pada tataran software (mindset). Yakni, literasi yang bisa menghasilkan generasi pemikir pembaharu dan pencerahan.
“Melalui literasi, cendekiawan lokal warga masyarakat pedesaan dan kampung harus dilahirkan dengan menjadi penulis-penulis yang bisa menuliskan kekayaan dan kearifan lokal di tempatnya,” demikian Nirwan Arsuka. (Amin)