PWMU.CO – Gambaran tentang tiga sosok mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu Amien Rais, Syafi’i Ma’arif, dan Din Syamsuddin disampaikan secara apik oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jatim.
Perbandingan itu disampaikan ketika menjelaskan materi Profil Kader dan Nilai Perjuangan Muhammadiyah dalam Baitul Arqam Amal Usaha Muhammadiyah yang diselenggarakan Majelis Pendidikan Kader PCM Babat di SMA Muhammadiyah Babat, Lamongan, Senin-Selasa (17-18/12/17).
Nadjib mengatakan Muhammadiyah besar bukan karena uang tetapi karena gagasan besar dan keikhlasan para kadernya dalam berjuang.
Selain itu, sambung dia, kepiawaian para pimpinan Muhammadiyah menghadapi tantangan zaman menjadi faktor penting. Termasuk yang dilakukan tiga tokoh Muhammadiyah yang populer itu.
“Pak Amien itu sang Pendobrak. Kalau ada kemunkaran, dan semua diam, Pak Amien akan mendobrak,” ungkap Nadjib soal sosok Amien Rais.
Di saat orang tidak berani mengkritik Soeharto, tambah Nadjib, Pak Amien justru berani menentang arus dengan segala risiko yang bakal diterima.
“Termasuk terhadap Presiden Jokowi. Pak Amien berani mengoreksi untuk kebaikan bangsa,” ujarnya. “Beliau lebih cocok dalam situasi politik yang represif. Makin represif pemerintah, beliau makin eksis,” imbuhnya.
Pada Din Syamsuddin, Nadjib menjulukinya sebagai sang Komunikator. Dia mengaku sangat kagum akan luasnya pergaulan pria kelahiran Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat tersebut.
“Kegiatannya banyak, tetapi stamina tetap terjaga. Selama ini saya mengikuti Pak Amien dan Buya Syafi’i. Tapi tak sepayah mengikuti Pak Din. Di mana-mana banyak yang kenal Pak Din,” ungkapnya.
Menurut pria asli Paciran Lamongan ini, Pak Din—sapaan akrab Din Syamsuddin—adalah satu-satu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang banyak kenal artis dan anak-anak muda. “Mereka tidak malu-malu minta foto dengan Pak Din,” kata Nadjib.
Lain lagi dengan Acmad Syafi’i Ma’arif yang biasa dipangggil Buya Syafi’i. Nadjib menjulukinya sebagai sang Intelektual.
Menurut Nadjib, Buya Syafi’i itu murni intelektual. “Pendapat beliau tidak terasuki kepentingan politik. Tapi murni sebagai intelektual,” jelas dia.
Nadjib memberi contoh soal Ahok. “Buya Syafi’i mengatakan, kalau Ahok sudah minta maaf, ya sudah, dimaafkan. Beliau tidak mempertimbangkan risiko politik yang diucapkan. Memaafkan itu kan sifat orang yang bertakwa,” kata Nadjib.
Bagi sebagian masyarakat yang sudah terkooptasi politik, lanjut Nadjib, pandangan Buya tersebut bisa “digoreng” menjadi fitnah yang kejam.
“Bahkan, gara-gara pandangan itu, Buya sempat dituduh telah murtad,” ungkap Nadjib sembari mengajak para peserta agar memperluas wawasan, menambah radius pergaulan, dan mengembangkan sikap toleran.
“Makin luas wawasan dan pergaulan seseorang, akan makin toleran dan tidak gampang menyalahkan orang,” pungkas Nadjib. (Hilman Sueb)