PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah Dr Haedar Nashir mengatakan, KH Mas Mansur—Ketua Majelis Tarjih (dan Tajdid) pertama—telah meletakkan pondasi pandangan keberagamaan yang kokoh bagi warga Persyarikatan Muhammadiyah berupa rumusan Masalah Lima.
“Tugas Mejelis Tarjih (dan Tajdid) sekarang adalah menjabarkan konsep tersebut secara lebih lengkap dalam konteks relasi antara agama (addin) dengan negara (addunya),” ujarnya saat memberikan Khutbah Iftitah pada pembukaan Munas Tarjih Muhammadiyah ke-30, di Unismuh, Makassar, Rabu (24/1/18).
Munas bertema “Penguatan Spiritualitas, Perlindungan terhadap Anak dan Pengelolaan Informasi menuju Masyarakat Berkemajuan” ini akan berlangsung hingga tanggal 26 Januari 2018.
Haedar mengatakan, pandangan keagamaan Muhammadiyah harus mampu merespon pemikiran-pemikiran baru dalam masalah keagamaan, agar tidak mengalami disorientasi.
“Masalah Lima yang terjabarkan dalam Matan Keyakinan dan Cita-Sita Hidup (MKCH) adalah garis Muhammadiyah tentang risalah Islam, yaitu sebagai pandangan hidup yang nilai-nilainya permanen dengan pendekatan fleksibel mengikuti perobahan tempat dan waktu (taghoyyurul amkinah walazminah),” terang dia. Masalah Lima yang dimaksud Haedar adalah Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Qiyas.
“Untuk lebih mendinamiskan Majelis Tarjih (dan Tajdid), saya usul ada penjabaran epistemologi Manhaj Tarjih. Ini penting agar Majelis ini lebih produktif dan membumi,” ujarnya sambil menyinggung fikih konservatif yang dikembangkan oleh salah satu kelompok di Indonesia belakangan ini.
Kelompok tersebut, ujarnya, harus bertanggung jawab atas semakin sempitnya area ibahah (sesuatu yang hukumnya boleh dalam agama).
Menurutnya, kelompok ini sering mensimplifikasi sunah nabi pada hal-hal yang sederhana, semacam cara minum nabi atau cara beliau meletakkan tangan pada saat takbiratul ihram.
“Padahal sunah adalah konsep besar tentang cara nabi membangun peradaban dan menata hati,” jelas Haedar.
Yang menarik, tambahnya, simplifikasi ajaran agama ini menjadi daya tarik yang kuat bagi kelas menengah kota yang kering secara spiritual.
“Sebenarnya metode irfani yang ada dalam Manhaj Tarjih bisa menjadi solusi, karena substansi dan kontekstualisasinya adalah konsep ihsan,” kata Haedar. (Syamsuddin)