PWMU.CO-Masih pukul 7 pagi. Suasana di Ponpes al-Ishlah Paciran Lamongan masih sepi. Hanya terlihat dari jauh para santri sedang berolahraga dan kerja bakti. Menunggu beberapa saat menuju waktu kunjungan dari perjalanan yang hampir tujuh jam sepertinya lama sekali.
Rombongan orangtua santri yang Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Tanggul Jember ini harus bersabar karena bagaimanapun rindunya kepada anak yang mondok, ada aturan yang harus ditaati. Mereka bersama orangtua lainnya menunggu di masjid.
Baca Juga: PCA Tanggul Hadang Gerakan Kristenisasi di Dusun Kamaran
Begitu jam kunjungan tiba pukul 08.00, para orangtua menuju ruang siaran untuk menulis nama di buku tamu, siapa saja yang akan ditemui. Setelah itu terdengarlah panggilan menggunakan bahasa Arab dan Inggris bergantian dari speaker.
Tak lama kemudian muncullah anak Tanggul yang dinanti dan dirindukan. Dengan senyum sumringah, anak-anak itu menghampiri, memeluk dan mencium bundanya. Demikian juga dengan pengunjung lainnya, semua berbahagia, bercengkerama dengan si buah hati.
Fikrul Islam merangkul ibunya Hj Farida Nur Anisa, ketua PCA, lalu Sekretaris PCA Humaiyah memeluk anaknya, Husni Abadi Emha, Ketua Majelis Tabligh Umi Kulsum mendekap anaknya Yusril Imam Malik, dan ibu-ibu yang lain juga langsung memeluk anaknya meluapkan kerinduan.
Tak sedikit yang terharu melihat perkembangan anaknya selama mondok. Mereka saling bertanya kabar. Setiap kunjungan selalu merasakan hal yang sama. Ada sejuta rasa yang berkecamuk di hati. Antara kerinduan, tak tega meninggalkan anak di rantau dengan keinginan belajar agama. Menjadikan anak saleh-salehah.
Santri dari Tanggul yang mondok di sini ada 15 anak. Tujuh anak di Aliyah dan delapan anak di SMP. Mereka masuk pondok sejak lulus SD. Ada yang sudah lima tahun nyantri di sini mengikuti pelajaran Diniyah malam hari. Pagi hingga siang mereka belajar di SMP Muhamamdiyah 12 Paciran. Lulus SMP melanjutkan ke Aliyah di Al Islah.
Pertemuan itu terasa singkat hingga terdengar bunyi lonceng tiga kali. Pertanda semua santri harus bersiap-siap shalat Jumat. Setelah beberapa waktu berselang, ribuan santri muncul dari kelas dan kamar berjalan rapi menuju masjid. Lengkap dengan baju koko, sajadah dan Alquran.
Mata para orangtua tak berkedip sedetik pun melihat anak-anaknya kembali ke kamar. Satu persatu berlalu dari hadapan. Ada yang berharap anaknya yang sudah menuju masjid melintas sambil tersenyum. Tapi kadang yang dicari tidak muncul atau luput dari penglihatan. Hingga tak sadar seorang teman menggoda,”Kelewatan ya anaknya?”
Waktu kunjungan sebenarnya dibatasi hingga pukul 17.00. Tapi orangtua merasakan pertemuan dengan anak itu serasa sangat singkat. ”Mempunyai puteri nyantri di tempat yang jauh itu seni,” begitu kata Endah Hidayati, salah satu walimurid dari Jember. ”Tak bisa mengunjungi sesering mungkin, apalagi saya juga punya kesibukan. Biar saya titipkan ke Allah saja, Dia yang melindunginya,” sambungnya dengan haru.
”Betul,” ujar Umi Kulsum menimpali. Ketua Tabligh PCA Tanggul Jember itu menambahkan, di pesantren itu kita menitipkan anak ke kiai dan ustdaz. ”Mereka figur yang baik, masak kita masih masih ragu-ragu. Apalagi suasana seperti Jumat begini, dengan melihat ribuan santri yang tertib shalat Jumat, saya mempunyai keyakinan beberapa tahun ke depan kita mempunyai anak bangsa yang berakhlakul karimah. Satu lagi, mengapa saya memondokkan putra saya ke al-Ishlah, saya berharap anak saya menjadi kader untuk Muhammadiyah,” tuturnya. (Humaiyah)