PWMU.CO – Kisah ini terjadi pada awal era reformasi. Ketika para anggota dewan di salah satu kabupaten bersidang untuk memutuskan masalah, terlebih dulu mereka berunding mengenai mekanismenya.
“Menggunakan voting atau musyawarah mufakat?” tanya sang pimpinan rapat.
“Voting…,” jawab mayoritas anggota dengan kompak.
Namun seorang anggota yang duduk di belakang mengacungkan tangan. “Saya tidak setuju voting, tapi harus one man one vote,” kata dia yang langsung disambut tertawa oleh anggota lainnya.
Anggota dewan yang baru dilantik itu agaknya ingin tampak berwibawa dan terkesan hebat. Ia tampil beda dengan menggunakan istilah-istilah asing. Sayangnya, ia sendiri belum paham dengan apa yang diucapkan.
Perilaku konyol tersebut mudah dimaklumi karena waktu itu memang banyak anggota dewan yang “lucu-lucu”, lantaran rekrutmen calegnya asal-asalan.
Tapi, bagaimana dengan peristiwa yang belum lama ini terjadi di lingkungan Muhammadiyah?
Seorang anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di salah satu kabupaten, dalam pidato pembukaan acara Dialog Ideopolitor (ideologi, politik, dan organisasi) mengritik keras penggunaan kata organisasi. Menurut dia, istilah organisasi itu berasal dari luar.
“Kalau dalam Muhammadiyah, yang benar itu Persyarikatan,” tandasnya di hadapan peserta dialog Ideopolitor, di salah satu kabupaten.
Para peserta yang mayoritas anak muda, pun bingung. “Kami diundang PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Red) untuk mengikuti acara Ideopolitor, tapi kok nama acaranya dikritik PDM sendiri? Kalau tidak boleh menggunakan kata organisasi, berarti namanya bukan Ideopolitor, tapi Ideopoliper,” gumam mereka.
Sayangnya, setelah membuka acara, yang bersangkutan langsung pergi untuk kegiatan lainnya. Sehingga tidak diperoleh klarifikasi dengan baik dan benar.
Baca juga: Memantapkan Wawasan Kader Muda lewat Dialog Ideopolitor
Ideopolitor, sebuah akronim yang mudah diucapkan dan enak didengar. Merupakan kependekan dari kata ideologi, politik, dan organisasi. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Dr Haedar Nashir, istilah tersebut mulai muncul setelah Muktamar ke-42 di Yogyakarta tahun 1990.
Acara Ideopolitor kali pertama diselenggarakan khusus untuk Pimpinan Persyarikatan dan Pimpinan Amal Usaha, di Universitas Muhammadiyah Surakarta. “Istilah tersebut sudah resmi masuk dalam program Muktamar khususnya untuk program kaderisasi, bahkan masuk dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah,” terang Ketua Umum PP Muhammadiyah itu.
Menurut ingatan Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Ari Anshori, yang mencetuskan istilah tersebut adalah Prof Abdul Malik Fadjar.
Sedangkan istilah organisasi, sudah menyatu dengan keberadaan Muhammadiyah, bahkan masuk dalam Anggaran Dasar (AD), dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah. Juga keputusan-keputusan Muktamar, Tanwir, dan lain-lain.
“Jadi, tidak ada yang salah dengan Ideopolitor maupun organisasi,” tegas Haedar. Adapun Persyatikatan, merupakan istilah khusus untuk menamai perhimpunan Muhammadiyah sebagai organisasi.
Sejak berdiri, baik dalam sehari-hari maupun keputusan resmi, Muhammadiyah disebut dengan istilah Persyarikatan dan organisasi. Masing-masing memiliki makna dan rujukan yang sah. “Jadi, jangan kaku dan salah paham dalam menggunakan keduanya,” pesannya.
Baca juga: Pendidikan Politik Rakyat lewat Dialog Ideopolitor
Maka sangat disayangkan jika ada pimpinan yang tabu dengan penggunaan istilah organisasi dan program Ideopolitor.
Demikian penting kegiatan Ideopolitor, sehingga dalam Program Umum 2015-2020 hasil Muktamar ke-47 di Makassar, dimasukkan pada bidang konsolidasi ideologis, sub-program Pengembangan Organisasi dan Kepemimpinan yang diselenggarakan di semua lini organisasi untuk meningkatkan komitmen, wawasan, dan aksi gerakan Muhammadiyah dalam menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.
Pada bagian lain, ditegaskan lagi bahwa untuk meneguhkan komitmen ideologis, memperluas visi dan pemikiran, serta mengembangkan organisasi sebagai instrumen gerakan Islam, wajib melaksanakan Ideopolitor bagi pimpinan Persyarikatan dan Amal Usaha.
Sebagai implementasinya, MPK PWM Jatim, tiap periode sudah melaksanakan program tersebut. Tahun ini, memanfaatkan momentum tahun politik, MPK Wilayah terus mendorong MPK PDM se-Jatim untuk menyukseskan program muktamar yang sangat penting itu.
Sayangnya, belum semua PDM welcome. Selain masih ada yang masih tabu, ada pula yang merespon dengan sinis. “Belum tertarik ustadz,” jawab salah seorang Wakil Ketua PDM yang membidangi kader, ketika dimintai dukungan oleh Ketua MPK-nya yang bermaksud menyelenggarakan Ideopolitor.
Pelajaran dari semua peristiwa itu, bahwa ternyata tidak semua pimpinan otomatis mengikuti dinamika yang berkembang di Muhammadiyah. Oleh karena itu, kesediaan untuk mau sama-sama belajar, dan membuka kembali dokumen resmi organisasi menjadi penting, agar tidak terulang peristiwa yang lucu-lucu.
Tidak kalah penting bagi setiap pemimpin agar bukan hanya mau manggung setelah panggung sudah siap, tapi juga turut berempati kepada yang menyiapkan panggung, dan mengawal hingga panggung usai. Bukan begitu kah? (*)
Kolom oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.