PWMU.CO-Banyak cerita inspiratif yang tercecer dari Family Gathering Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang dan Padepokan Hizbul Wathan di Pantai Kangen, Kabupaten Malang, Sabtu-Minggu (30-31/3/2018).
Di antaranya pengalaman Asfatun dan Mamak Masruhatin. Keduanya adalah tokoh penggerak Aisyiyah. Meski berusia lanjut, tapi semangatnya tak pernah padam. Hingga kini mereka tidak pernah lelah menggerakkan roda perjuangan Aisyiyah, bahkan ikut mendorong mesin-mesin penggerak organisasi yang vakum.
Asfatun, perempuan berusia 81 tahun, ibu dari 10 anak itu, hingga sekarang tetap aktif ikut kegiatan Ranting Muhammadiyah Bumiayu Cabang Kedungkandang, Kota Malang.
Asfatun menceritakan, tahun 1990, mushola kecil yang dibangun orang tuanya di dekat rumahnya, dirobohkan. Pelakunya saudara sendiri yang merasa beda ideologi. Asfatun tentu kecewa berat. Dia dan juga suaminya, Salamun (kini sudah almarhum), sempat menegur saudaranya lantaran perbuatan merobohkan mushola, namun tidak digubris.
“Saya sempat adu mulut dan melawan. Tapi akhirnya hanya bisa diam. Saya hanya bisa pasrah dan menangis,” ungkap Asfatun, mengenang kejadian pilu tersebut.
Waktu terus berjalan. Asfatun masih menyimpan keinginan kuat untuk membangun lagi mushola yang porak-poranda. Dalam doanya, ia selalu panjatkan agar diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan dari pendapatan rumah tangganya.
Untuk memulai membangun mushola tidaklah mudah. Karena untuk membangun butuh dana yang tidak kecil. Asfatun tak berkecil hati. Dia meyakini, jika setiap mengerjakan amal kebajikan pasti mendapat balasan setimpal. Termasuk menemukan jalan keluar dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Tahun 2016, Asfatun mulai membangun musholanya itu. Dananya dari uang pribadi, bantuan kerabatnya, serta orang-orang yang dikenal baik. Uang yang dikumpulkan Asfatun kemudian dibelikan material yang dibutuhkan. Berikut ia menyisihkan untuk ongkos tukang.
Asfatun tentu sangat bersyukur. Pasalnya, hal ini ia lakukan untuk mewujudkan baktinya pada kedua orangtuanya. “Alhamdulillah, mushola kami sudah berdiri lagi dan sudah beratap,” beber Asfatun dengan mata berair.
Kondisi mushola yang sudah difungsikan lagi itu hingga kini masih belum sempurna. Atapnya masih dibalut terpal. Lantai dan bangunan samping kiri dan kanannya juga belum seratus persen. Juga dengan pintu masuk mushola yang masih belum kelar. Jika hujan turun, air tidak terbendung masuk ke dalam mushola.
PWMU.CO sebelumnya pernah mengunjungi mushola itu, saat menghadiri agenda kegiatan Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) Bumiayu. Kondisinya memang masih butuh banyak perbaikan.
“Ayo mbak ke sana lagi, biar tahu dan ikut senang melihatnya,” ajak Asfatun kepada PWMU.CO.
Cerita yang tak kalah menarik datang dari Mamak Masruhatin, penggerak Aisyiyah berusia 71 tahun. Mamak, begitu semua memanggilnya, menceritakan pengalaman sebelum pindah ke Dau sebagai ibunya para penghuni Padepokan Hizbul Wathan, dia tinggal di Ketawang Gedhe, Kota Malang.
Selama di Ketawang Gedhe, tahun 1968-1999, Mamak berhasil mendirikan TK ABA 16, SD Aisyiyah 1 dan Panti Asuhan Aisyiyah. Dia juga berperan penting dalam pendirian Bustanul Athfal Restu yang ternama itu.
“Saya juga ikut mendirikan Bustanul Athfal Restu saat masih bergabung di dharma wanita,” tutur Mamak.
Setelah pindah ke Dau, Kabupaten Malang mulai tahun 1999, istri KH Abdullah Hasyim (kini sudah almarhum) itu telah memelopori berdirinya dua panti asuhan, Taman Penitipan Anak, dua PAUD, empat Taman Kanak-Kanak, dan Balai Pengobatan.
“Alhamdulillah, setelah pindah ke Dau tahun 1999/2000 semakin banyak yang bisa saya lakukan dan membawa hasil,” ucap Mamak pada PWMU.CO.
Di akhir perbincangan, Mamak berpesan kalau menjadi aktivis Muhammadiyah harus selalu semangat. “Apa pun yang terjadi tidak boleh menyerah atau lemes, karena sudah berada di shirathal mustaqim, laa raiba fiihi,” tegasnya.
Dia menambahkan, sebagai seorang istri harus bisa mendukung dan menemani suami. “Apabila suami sudah memilih untuk menggerakkan Muhammadiyah, seorang istri harus bisa seperti Khadijah dan Aisyah, supaya bisa masuk surga bersama-sama,” ucap Mamak.
Cerita Asfatun dan Mamak Masruhatin benar-benar membuat peserta family gathering tak mampu berucap kata. Di usia senja, semangat keduanya masih terus berkobar. Saat mendampingi para kader di acara periodik itu, keduanya selalu tampil energik. Tak pernah mengeluh kedinginan maupun lelah. Mereka memang perempuan teladan yang luar biasa. (uzlifah)