PWMU.CO – Tri sentra pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat harus dihadirkan kembali bagi generasi era milennial. Apalagi era kekinian itu sudah sangat memprihatinkan. Kehadiran pusat pendidikan ini untuk mewujudkan generasi emas masa depan yang unggul intelektual dan anggun moral.
Demikian pesan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban Prof M Din Syamsudin. Pesan itu disampaikan dalam Pengajian Akbar yang dihelat SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, di halaman sekolah, Sabtu (7/4).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 itu megakui pengaruh derasnya arus teknologi dan informasi bisa membawa anak-anak masa kini ke arah yang buruk. Apalagi katanya, arus teknologi membawa anak milennial yang terbuka, kritis, dan rasional cenderung membentuk watak anak cuek tidak peduli sekitar.
“Jadi faktor dasar atau faktor ajar yang dapat merubah anak kita?” tanya Din seolah audiens paham apa yang ditanya. Lalu dijawab sendiri bahwa faktor ajarlah yang mempengaruhi hidup sesorang di masa depan.
Menurutnya, faktor dasar yang merupakan faktor awal yang di bawa dari rahim tidak berpengaruh. Tetapi faktor ajar yaitu apa yang diperoleh dalam hidup ini sejak lahir yang menentukan sukses tidaknya seseorang.
“Yang mempengaruhi hidup adalah siapa orangtuanya, bagaimana mendidik anaknya, kemana dia di sekolahkan, bagaimana masyaraknya?” jelas Din dalam pengajian bertema “Membangun Generasi Milennial yang Berakhak Mulia” itu.
Saking pentingnya faktor ajar, pengasuh Pondok pesantren Modern Internasional Dea Malela, Sumbawa, NTB itu menyarankan para orangtua wajib memilihkan pendidikan yang terbaik untuk putra putrinya. Namun, orang tua di rumah juga jangan pasrah bongkokan pada sekolah.
“Pendidikan itu harus mengalir dari orangtua, sekolah, juga masyarakat. Itu penting jangan banyak mengandalkan pada sekolah,” jelasnya.
Din lantas menceritakan bagaimana pendidikan keluarga dan masyarakat di kampung halamannya: Sumbawa yang sangat mempengaruhinya. Dikisahkan, anak SD harus khatam baca al-Quran dengan bagus sebelum tamat SD. “Seolah dosa besar kalau tidak hatam al-Quran.”
Selain itu dikisahkan bagaimana orangtua dan masyarakat di kampunganya membentuk moral kawula muda. Yakni bila anak muda yang jalan atau lewat di depan orangtua makantidak nyelonong begitu saja, tetapi membungkukkan badan sambil mengatakan tabe’. Kata tabe’ bermakna tobat (maaf).
“Kalau anak tidak seperti itu, anak dituding sama orangtuanya adalah anak yang tidak tahu bahasa. Yaitu bahasa tubuh dan bahasa etika,” katanya. Maka dia menyesali anak yang tak tahu sopan santun bahkan kurang ajar pada orang yang lebih tua. Dia lalu menyinggung kejadian siswa yang sampai membunuh gurunya belum lama ini. (mul)