PWMU.CO-Sebagai warga Muhammadiyah, hendaknya tetap menjaga nilai moral yang sudah melekat di tubuh Muhammadiyah. Nilai baik, terhormat, dan punya marwah. Nilai-nilai tersebut sudah sepantasnya dijaga selayaknya mutiara. Analoginya, sekali terlepas, sekali itu pula akan susah dikembalikan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir saat menjadi pembicara pada pembukaan Kajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (19/5/2018).
Pesan ini tak serta merta disampaikan Haedar. Tapi setelah melihat kehidupan politik umat Islam Indonesia yang berpotensi menimbulkan ketegangan merupakan contoh nyata dari dilema politik Islam.
Di dalamnya, menurut dia, terkandung ketegangan antara nilai-nilai keagamaan di tingkat normatif dengan politik di dunia nyata yang seringkali saling bertentangan.
“Politik, ekonomi, dan aspek muamalah keduniaan pada dasarnya baik. Menurut Ibnu Qayyim, politik bahkan disebut sebagai aspek yang mendekatkan kepada segala hal yang baik dan menjauhkan diri dari segala hal yang merusak,” ujar Haedar.
Mengutip teori Max Weber, Haedar mengatakan, “Politic is religion, religion is politic.” Hal ini bisa terjadi, lanjut Haedar, lantaran agama acap dijadikan nilai untuk mencapai kekuasaan. Untuk itu, meski agama dan politik menjadi kontradiksi, keduanya juga dapat menjadi harmoni layaknya hubungan antara ad-din wa al-dunya, agama dan dunia.
Sebagai pamungkas, Haedar berbicara politik nilai harus tetap berdasar, berbingkai, dan berorientasi pada Islam.
.“Inilah persoalan politik Islam, mana yang nilai absolut dan mana yang bisa dikompromikan,” ujarnya.
Aliran politik Muhammadiyah, katanya, sebagai gerakan yang berada di tengah. Gerakan reformis dan moderat. (Isna)