PWMU.CO-Anda masih suka berselisih tentang hadits merapatkan shaf shalat yang harus pundak menempel pundak dan kaki menempel? Inilah penjelasan pakar hadits Ustadz Zainuddin MZ saat ceramah tarwih di Masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, Rabu (23/5).
Hadits itu, kata dia, berasal dari An-Nukman yang bercerita pada saat Nabi memerintahkan menegakkan shaf ia melihat para sahabat menempelkan pundak dengan pundak temannya, dengkul dengan dengkul, mata kaki menempel mata kaki. ”Nempel kayak perangko,” ujar Zainuddin menceritakan pemahaman sebagian orang yang mempraktikkan hadits ini.
”Hadits ini sahih, cuma ada dua pemahaman yang biasa digunakan menjelaskan hadits tersebut, yaitu denotatf dan konotatif,” ujar dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Memahami secara denotatif berarti memahami apa adanya.”Maka hadits ini kemudian diilustrasikan, dibuat gambar, kalau tidak nempel rapat disilang. Berarti salah. Ini kalau pemahaman denotative,” terang dia.
Ustadz Zainuddin menyebutkan contoh kasus di Gresik gara-gara pemahaman denotatif terhadap hadits ini shalat jadi bubar. Jika ada orang kakinya tidak rapat menempel diinjak. Gara-gara diinjak pindah tempat, masih diinjak lagi. Akhirnya jengkel dia ganti menginjak.”Shalat akhirnya jadi injak-injakan,” cerita Zainuddin disambut geer jamaah.
Kalau memahami secara denotatif ada tiga bagian kaki yang harus nempel, ujar dia, yaitu pundak, lutut, mata kaki. Untuk memberikan pemahaman secara denotatf ini, pernah dicoba mempraktikkan bagaimana mengatur shaf seperti pada gambar yang dibuat sesuai pemahaman denotatif.
Lima orang diminta mempraktikkan shaf persis seperti gambar. Begitu sudah baris jamaah diminta menilai. “Begitu mereka siap, saya tanya, bapak ibu apakah ini sudah sesuai dengan gambar? Jamaah koor menjawab belum,” lanjut pria yang sekarang mengajar di Madinah.
Lima orang itu kemudian mepet lagi. ”Apakah sudah sesuai dengan gambar? Masih dijawab koor belum,” kata dia menceritakan. Berkali-kali begitu tak pernah bisa seperti yang digambarkan. ”Sulitnya melaksanakan hadits ini karena orang itu ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang gemuk, ada yang kurus. Jadi tidak mungkin nempel persis seperti gambar,” kata dia menegaskan.
Seharusnya bukan, sambung dia, memahami kerapatan shaf shalat bukan menggunakan salah benar tapi kurang sempurna. ”Sebagaimana Nabi tidak pernah menyalahkan, beliau hanya mengatakan kurang sempurna,” tuturnya.
Pemahaman secara konotatif kata merapatkan shaf, dia menjelaskan, berarti mengatur yang penting rapat, tidak harus sampai menempel kayak prangko. ”Maksud kata furja itu ada jarak cukup untuk satu orang tapi tidak mau menempati, yang samping tidak mau geser, yang belakang tidak mau maju, itu baru ditempati setan. Jarak rapat tergantung kebutuhan,yang penting lurus, jangan ada yang yang longgar,” pungkas Zainuddin. (Ernam)