PWMU.CO – Salah satu pemahaman fiqih yang cukup terkenal dalam masyarakat Muslim Indonesia, adalah ketidakwajiban mendirikan shalat Jum’at jika jatuh pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Bagaimana sebenarnya hukum mendirikan shalat Jumat yang bertepatan dengan Idul Fitri pada Jumat, 15 Juni tahun 2018 ini?
Menanggapi masalah tersebut, pakar hadits DR Zainuddin MZ punya jawaban yang kompromistik. Mengisi kuliah Subuh di Masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, Ahad (3/6), Zainuddin menyatakan bahwa hal itu terjadi pada zaman Nabi Muhammad. “Ada istilah sunnah menggugurkan yang wajib karena Nabi Muhammad saw menyatakan tidak semestinya menikmati dua hari raya.”
Mendengar sabda demikian, salah satu sahabat kemudian melakukan konfirmasi kepada Nabi Muhammad saw. “Sahabat bertanya, apa panjenengan akan melaksanakan shalat Jumat Rasulullah?” terang Zainuddin tentang pertanyaan sahabat kepada Nabi Muhammad saw terkait dengan Hari Raya yang jatuh pada hari Jumat.
Jawaban Nabi Muhammad saw terhadap pertanyaan ini ternyata sangat bijak. “Rasulullah menjawab, saya pribadi akan melaksanakan shalat Jumat,” lanjut pakar hadits yang berkegiatan di Universitas Madinah itu.
Sabda Nabi Muhammad saw ini, kata Zainuddin, memberikan implikasi hukum bahwa melaksanakan shalat Jumat pada hari raya adalah mubah atau boleh. “Diharapkan masjid tetap buka dan melaksanakan shalat Jumat. Barangkali karena sebab tertentu, ada Muslim yang tidak menikmati hari raya Idul Fitri dan mau shalat jumat, sehingga tetap bisa shalat Jumat,” jelas Zainuddin.
Masalah lain yang muncul terkait dengan shalat Jumat tidak adanya shalat Dhuhur bagi yang menunaikan shalat Jumat. Asal hukum shalat jumat bagi laki-laki adalah wajib dan sunnah bagi perempuan. “Ketika Aisyah ikut shalat Jumat bersama Rasulullah, beliau tidak shalat Dhuhur,” jelas Zainuddin sambil menyadur berbagai hadits Nabi.
“Asal perintah shalat Jumat adalah shalat Dhuhur. Begitu berhalangan tidak bisa shalat Jumat, ya tetap shalat Dhuhur. Tapi kalau sudah Jumat, ya tidak wajib shalat Dhuhur,” tegas dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Pengambilan hukum semacam ini salah satunya terjadi pada saat Rasulullah berhaji wadak. Sesaat setelah memasuki Arafah, beliau minta sahabat diam. Lantas Nabi Muhammad saw mulai berkhutbah. “Wahai umatku bukankah aku sudah menyampaikan seluruh wahyu kepadamu? Balaa (tentu), ya kami menyaksikan,” cerita Zainuddin tentang salah satu isi khutbah Haji Wada’ yang terkenal itu.
Itu khutbah Rasulullah di depan ratusan ribu umat Islam. “Haji wadak itu diikuti oleh penduduk Mekkah 100 ribu dan penduduk madinah 100 ribu, tapi suara Rasulullah terdengar kepada seluruh jamaah,” tegas guru pengajar Universitas Madinah Arab Saudi itu tentang salah satu keistimewaan khutbah Rasulullah saw. (ernam)