PWMU.CO-Ada-ada saja ulah orang satu ini. Datang ke lokasi shalat Idul Fitri tanpa pakai kopiah. Padahal ia sudah diminta sebagai khotib Id yang berlokasi di halaman Mushala Mujahidin Desa Lobuk Kec. Bluto Sumenep, Jumat (15/6/2018).
“Tadi berangkat buru-buru, jadi gak sempat pinjam kopiah. Saat mudik ke sini juga gak bawa kopiah,” tutur Moh. Ernam yang didapuk menjadi khotib.
Bagi Ernam, pulang mudik ke desanya bukan berarti istirahat. Aktivitas dakwah tetap menanti. Tugas menjadi khotib sudah menunggu. “Saya dihubungi lewat WA agar mempersiapkan diri jadi khotib Idul Fitri, padahal saya tidak pernah jadi khotib. Bagi kader Muhammadiyah tak ada kata lain selain siap,” tambah anggota MPK PWM Jatim.
Selesai shalat Id yang diimami Drs Zainuri, khotib tiban Ernam langsung berdiri bersiap berdiri menuju mimbar. Melihat khotibnya tak berkopiah, seorang jamaah di sebelahnya Judi Hartono langsung menyodorkan kopiahnya untuk dipakai. Tampil lengkap memakai kopiah tidak lantas masalah selesai.
Ernam melihat jamaah orang pelosok desa, sehari-hari menggunakan bahasa lokal, maka langsung dia memutuskan khotbah pakai bahasa Madura. Jika pakai bahasa Indonesia khawatir ada yang gak paham. Karena ini pertemuan formal maka bahasa Madura yang dipakai bukan bahasa sehari-hari, tapi harus bahasa tengah atau bahasa atas. Bahasa halus.
“Tojjuwen deri poasa enggi kakdinto andeddiyegi oreng setaqwa. Kadipona tatengnger oreng setaqwa?” demikian cuplikan isi khotbahnya. Artinya, tujuan puasa adalah menjadikan orang bertaqwa. Apa ciri orang bertaqwa?
Para jamaah terlihat khusyuk menyimak, mungkin lebih paham, atau malah heran. Dua puluh tahun tinggal di Jawa masih ingat bahasa Madura dengan baik. “Padahal tadi saya menyampaikan sambil mereka-reka kata apa yang pantas digunakan. Karena teks khotbah yang saya buat berbahasa Indonesia, tapi harus saya sampaikan dalam bahasa Madura. Itu memerlukan pikiran ekstra,” tutur aktivis HW Sidoarjo ini.
Turun dari mimbar bukannya mendapat ucapan selamat dari jamaah, tapi malah diprotes. “Tadi ayah ngomong apa? Saya gak ngerti blas,” semprot Nurul Fajriyah yang merasa tidak paham bahasa Madura. Rupanya khotib lupa kalau di antara jamaah ada istrinya yang tidak paham bahasa Madura.
”Tidak apa-apa, memang di antara orang yang bahagia, kadang ada yang jadi korban. Pokoknya habis shalat makan kaldu kokot. Hmm!,” selorohnya santai saja. (R6)