PWMU.CO – Hiruk-pikuk politik nasional yang mulai memanas saat ini, alhamdulillah, mampu disikapi Muhammadiyah dengan tenang dan profesional.
Sikap profesional dalam memilih jalur dakwah menjadikan politik Muhammadiyah sebagai wasilah (jalan) strategis menebarkan Islam rahmatan lil alamin.
Saat ini semua partai politik bahkan ormas-ormas sibuk menyodorkan calon presiden dan calon wakil presiden. Beberapa di antaranya bahkan cenderung ‘mengancam’ calon presiden tertentu dengan ‘nodong-nodong’ segala.
Situasi ekonomi yang kurang menguntungkan terasa kurang mendapat perhatian dalam dinamika politik yang seperti itu. Pembahasan capres-cawapres terasa lebih dominan daripada solusi pemecahan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang masih sangat rentan berpengaruh dalam aspek ekonomi semua lapisan masyarakat.
Jika kita menegok sejarah, tanpa intrik dan kendaraan politik pun sebenarnya kader Muhammadiyah pernah mendapatkan jabatan politik strategis sebagai Perdana Menteri “merangkap” jabatan Wakil Presiden, Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan periode 1957-1963.
Sejak pengunduran diri Mohamad Hatta pada Desember 1956, jabatan Perdana Menteri menjadi “tangan kanan” Presiden RI Soekarno dalam sistem Kabinet Presidensil. Kejumudan politik liberal merupakan alasan utama pemberlakuan sistem Kabinet Presidensil.
Kabinet sistem parlementer menghasilkan kabinet yang mudah dijatuhkan dalam waktu singkat sejak Mohamad Natsir menjadi Perdana Menteri pertama RI. Pemilihan Umum 1955 yang menghasilkan pemerintahan hasil pemilu demokratis tidak kunjung menghasilkan perbaikan ekonomi.
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo—kader PNI pemenang Pemilu 1955—mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno pada Maret 1957. Tidak menunggu lama Presiden Soekarno menunjuk Ir H Raden Djuanda Kartawidjaja—selanjutnya disebut Ir Djuanda—sebagai Perdana Menteri dengan pertimbangan profesionalitas.
Era 1957 mengawali era Demokrasi Terpimpin. Sebagian pihak menilai sebagai era diktator Pemerintah Soekarno. Kekuasaan Presiden menjadi super power sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.
Yang menarik pada periode ini adalah posisi Ir Djuanda yang tetap dipertahankan sebagai Perdana Menteri cc. Wakil Presiden de facto dalam perombakan Kabinet Djuanda menjadi Kabinet Kerja I dan II.
Fokus Kabinet Djuanda dan Kabinet Kerja adalah melakukan revolusi ekonomi dari struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Revolusi ekonomi yang dimaksud adalah menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan”, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” , “Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Dalam praktiknya Ir Djuanda selaku Perdana Menteri cc Wakil Presiden mendapat dukungan penuh Presiden dan militer dalam nasionalisasi perusahaan peninggalan Belanda.
Hasil nasionalisasi menjadi cikal-bakal BUMN saat ini. Koperasi juga ditumbuhkankembangkan dalam masa Ir Djuanda sebagai penghargaan kepada Wakil Presiden Mohamad Hata sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Program pembangunan Ekonomi limatahun 1960-1965 selanjutnya menjadi blueprint pembangunan Ekonomi pemerintahan Orde Baru hingga saat ini. Ir Djuanda tidak mampu menyelesaikan program lima tahun karena wafat dalam tugas pada 1963.
NKRI harga mati bagi kader Muhammadiyah bukan Sensasi! Enam tahun Kader Muhammadiyah menjadi Perdana Menteri cc. Wakil Presiden de facto tanpa minta jabatan atau menggalang opini masa.
Pelajaran yang bisa dipetik adalah kader Muhammadiyah tidak perlu alergi terhadap politik. Namun jangan pula berambisi serius pada jabatan politik.
Peran politik kader Muhammadiyah dalam ikut serta pada penyelenggaraan negara sebagai wasilah dakwah menyampaikan nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Semoga hadir Ir Djuanda berikutnya sebagai kader Muhammadiyah yang memegang jabatan politik strategis pemerintahan secara profesional dalam dukngan luas sipil dan militer. Tetap menjaga profesionalitas dalam dakwah, pantang mengincar jabatan politik, pantang menolak jabatan politik yang diamanahkan. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Penulis buku Nabung Saham Syariahdan Auditor di Kantor Akuntan Publik Erfan & Rakhmawan Surabaya.