PWMU.CO – Lazimnya masyarakat Indonesia yang sebagian kecil suka “gotak-gatuk”, keahlian ini hari-hari terakhir begitu digandrungi. Seiring dengan bencana gempa bumi yang melanda Lombok, beredar berbagai broadcast yang menghubungnya dengan berbagai peristiwa, yang intinya bencana yang melanda saudara-saudara kita itu adalah sebuah azab. Sebenarnya bagaimana Islam memandang sebuah bencana?
Broadcast yang mengaitkan waktu kejadian gempa di Lombok dengan berbagai peristiwa yang melingkupinya mengesankan seolah musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Lombok itu adalah azab/peringatan. Jika broadcast semacam itu sampai di tangan mereka yang terkena musibah, pasti mereka akan sakit hati. Bagai papatah “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Terlepas dari kebenaran akan hakikatnya, karena yang tahu hanya Allah swt, tetapi sedikit-banyak peristiwa itu adalah pelajaran, –bukan saja bagi masyarakat. “Namun kita tetap harus ber-husnudzan kepada Allah bahwa di balik semua itu terdapat maksud yang baik dari Allah untuk kita,” begitu tegas almarhum KH Mu’ammal Hamidy dalam “Islam dalam Kehidupan Keseharian”.
Menanggapi masalah musibah, menurut Mu’ammal dengan merujuk pada al-Quran dan Hadits Nabi, setidaknya terdapat 4 hal penting yang harus dipahami tentang musibah itu sendiri. Pertama, musibah yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi dinyatakan al-Quran sebagai peringatan bagi umat manusia dan kaum muslimin.
“Peringatan itu tidak membedakan mana yang azab dan mana yang peringatan biasa. Sebab, adakalanya musibah karena kesalahan manusia dan adakalanya sudah ditetapkan oleh Allah dalam lauhun mahfuzh,” jelas Mu’ammal.
Musibah yang dikarenakan manusia itu diantaranya disebutkan dalam al-Quran, yang diantaranya QS al-Syura ayat 30.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS al-Rum: 41)
Sementara musibah yang ketentuannya sudah termaktub dalam lauhun mahfuzh diantaranya dalam QS al-Taaghabun: 11 dan QS al-Hadid: 22-24.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS al-Taghabun: 11)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barang siapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS al-Hadid: 22-24).
Gembira yang dimaksud dalam ayat ini adalah gembira melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.
“Kedua, ketika ada musibah yang menimpa saudara-saudara kita, kita hendaknya mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali), dan mendoakan agar musibah itu membawa pahala dan akan mendapat ganti yang lebih baik,” lanjut Mu’ammal tentang hal penting kedua tentang musibah.
Dalam Islam, innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun adalah kalimat yang dinamakan istirjaa’ (pernyataan kembali kepada Allah), dan disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya. Sementara doa yang diajarkan Nabi kepada Ummu Salamah ketika ditinggal mati suaminya, Abu Salamah adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
Ya Allah, berilah aku pahala lantaran musibah ini dan berilah aku ganti dengan yang lebih baik.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS al-Baqarah: 155-157)
“Ketiga, kita juga disuruh berta’ziyah untuk menghibur saudara-saudara kita yang sedang kesedihan,” lanjut Mu’ammal tentang menyikapi adanya musibah yang menimpa orang lain. Doa yang diucapkan Nabi Muhammad saw saat berta’ziyah adalah sebagai berikut:
عَظَّمَ اللهُ اَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
Kiranya Allah memberimu pahala sebanyak-banykanya dan memperbaiki kesedihanmu serta mengampuni mayitmu.
“Keempat, musibah terkadang sebagai penebus dosa sebagaimana tersebut di surat al-Syura: 30,” lanjut Mu’ammal tentang makna musibah yang keempat. Oleh Rasulullah saw ditegaskan dalam sebuah hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ رواه الترمذي – وقال حسن صحيح–
Seorang mukmin laki-laki dan wanita yang terus-menerus mendapat ujian dari Allah, baik yang mengenai dirinya, anaknya maupun hartanya, hingga kelak ketika dia bertemu Allah ta’ala (di hari kiamat), dia tidak lagi menyandang dosa barang sedikit pun. (HR Tirmidzi, katanya: hasan-sahih)
Simpulannya, hanya Allah swt yang mengetahui hakikat berbagai musibah yang terjadi. Kita tetap harus ber-husnudzan kepada Allah bahwa di balik semua itu terdapat maksud yang baik dari Allah untuk manusia. Jangan pernah dihubungkannya dengan adzab dan lain sebagainya. (redaksi)