PWMU.CO – Awalnya adalah reformasi yang dibayangi kekhawatiran 30 tahun kediktatoran Soeharto yang akan terulang. Maka konstitusi diamandemen oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai reformist. Jabatan Presiden dibatasi hanya boleh dua kali.
Namun ternyata perubahan atas konstitusi tidak itu saja. Bahkan lebih mendasar. Sinyalemen Yudi Latief tentang negara sengkarut pikir boleh jadi dimulai di sini: pikiran-pikiran yang mewarnai kebijakan dan wacana publik tidak lagi dipijakkan pada jati diri bangsa ini.
Mengatakan konstitusi yang berlaku saat ini adalah UUD 45 adalah sengkarut pikir terbesar zaman reformasi. Ruh UUD 45, yaitu Pancasila yang dinyatakan dalam Pembukaan, sudah tidak ada lagi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang di negeri kepulauan seluas Eropa ini.
Mengatakan Pancasila masih menjadi dasar negara, lalu mengatakan NKRI harga mati tidak saja kebodohan namun juga sekaligus kebohongan.
Kerakyatan hilang saat kedaulatan rakyat dirampas dari tangan MPR untuk diberikan kepada gerombolan (yang rawan dimanipulasi) melalui pemilihan langsung. Begitu pula pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Presiden bukan lagi pemegang amanah atau mandataris MPR. Dia hanya petugas partai. Tidak ada lagi Garis-garis Besar Haluan Negara yang harus dilaksanakan oleh Presiden sebagai mandataris MPR.
Prinsip-prinsip keterwakilan sudah diganti oleh keterpilihan (oleh lembaga survei yang mengeruk keuntungan dan pengaruh buah reformasi disebut dengan elektabilitas). Seiring dengan itu prinsip musyawarah bil hikmah menguap hilang di pemungutan suara, debat televisi, perang spanduk dan deklarasi, serta di belantara medsos yang makin brutal dan liar penuh hoaxes.
Hikmah dilibas oleh kedunguan luas sebagai arus balik anti-kecendekiaan. Bahkan sekelompok alumni perguruan tinggi yang menyandang nama Indonesia dan dengan congkak mengatakan terpelajar justru menjadi motor gerakan 3L: lanjutkan, lawan dan libas.
Pemilihan langsung terbukti membuat biaya politik makin mahal tapi seringkali gagal merekrut pemimpin yang jujur, amanah, peduli, dan cerdas. Biaya politik yang mahal ini tidak saja menggerogoti APBN/D, namun juga menghadirkan pemodal yang membiayai kampanye dan serangan fajar bagi para calon anggota legislatif maupun eksekutif. Tentu ini bukan tanpa tagihan.
Pemulung terbesar reformasi adalah partai politik yang terbukti gagal melakukan tugas utamanya untuk menghadirkan kebajikan publik. Kebanyakan para petugas partai malah asyik berpestapora merampok anggaran pembangunan. Yang kita saksikan saat ini adalah pesta kemaruk kekuasaan. Memang salah satu buah reformasi yang terbesar adalah rebutan jabatan eksekutif.
Kemaruk kekuasaan itu diwujudkan dengan dua cara untuk menyiasati batasan jabatan dua periode. Pertama, membentuk dinasti politik. Setelah dua periode menjabat, dilanjutkan oleh anak atau istri. Jika bisa, dari istri pertama dilanjutkan oleh istri kedua.
Kedua dengan cara akselerasi. Jabatan walikota belum selesai maju ke pemilihan gubernur. Jika perlu dengan partai politik lain. Jabatan gubernur belum selesai, maju ke pemilihan presiden. Setelah itu minta dua periode. Bahkan ada gubernur yang menyebut dirinya sukses dan minta menjabat dua periode untuk menuntaskan kesuksesannya.
Kesuksesan itu sekarang diluluhlantakkan oleh bencana. Waktu akan membuktikan apakah istrinya akan maju dalam pilgub periode berikutnya.
Ketuhanan adalah dasar kehidupan bernegara kita yang bhinneka ini. Negeri ini dibentuk atas berkat rahmat Allah. Iman itu perlu diekspresikan dalam praktik. Bukan sekadar identitas semu. Namun arus balik sengkarut pikir itu ingin menjauhkan Tuhan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu mempersilahkan setan-setan untuk menggantikannya.
Dalam konteks ini kita perlu mencermati Muhammad Rasulullah. Dia dan juga penerusnya yang empat tidak memberikan jabatan pada sahabat yang meminta-minta jabatan.
Jabatan adalah amanah. Memegang amanah adalah bak menggenggam bara api yang diterima dengan ketakutan, lalu menyebut inna lillahi wa inna ilayhi raajiuun, bukan kesenangan dengan menyebut alhamdulillah. Jabatan adalah amanah yang perlu segera dilepas, bukan dipegang erat-erat berlama-lama.
Di samping itu memperlama jabatan dengan membuka peluang menjabat dua periode menimbulkan masalah. Pertama, pejabat sering kehilangan fokus di akhir periode pertama karena sibuk memantaskan diri untuk maju di periode berikutnya. Upaya memantaskan diri ini sering menimbulkan perilaku aneh dan tak wajar kalau bukan manipulatif.
Kedua, menghambat regenerasi. Pejabat-pejabat kita makin tua. Kaderisasi mandeg. Ketiga, memperlama masa tugas tidak menjamin akan memperbaiki kinerja. Gejala ini disebut student syndrome. Mahasiswa cenderung menyelesaikan tugas pada saat-saat terakhir.
Namanya last hour panic. Masa awal sisanya dipakai untuk bermalas-malasan. Lalu tergopoh-gopoh di ujung periode, terutama agar bisa menjabat lagi dua periode.
Sudah cukup hiruk-pikuk demokrasi yang mahal dan melukai ini. Kita harus segera kembali ke Negara Proklamasi. Sengkarut pikir di negeri ini harus segera diakhiri dengan menghadirkan hikmah kebijaksanaan dan mengusir kedunguan.
Gunung Anyar, 2 September 2018
Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.