PWMU.CO – Sepintas tidak ada yang istimewa dengan relawan pengatur lalu lintas di persimpangan tanpa traffic light itu. Layaknya “polisi cepek” lainnya, mereka piawai mengatur lalu lalang di titik kemacetan itu dengan isyarat tangan dan peluit di mulut. Lalu lintas pun berjalan lancar tanpa kemacetan.
Namun, usai diperhatikan seksama, ada yang istimewa dari para relawan pengatur lalu lintas itu. Mereka yang bergantian mengatur lalu lintas sejak pagi hingga sore itu adalah orang-orang yang punya kemampuan beda.
Menamakan diri sebagai Komunitas Pengatur Lalu Lintas Kabupaten Tulungagung, anggotanya para difabel bisu dan tuli (tunawicara dan tunarungu) yang punya kode bahasa tersendiri. “Anggota komunitas ini semuanya 16 orang dan tersebar di 4 titik persimpangan di Tulungagung,” terang salah satu anggota komunitas, Aditya Bagas Setiawan (27) kepada PWMU.CO, (12/9).
Komunitas sosial ini berdiri sejak tahun 2017. Mereka membantu mengatur kelancaran lalu lintas di titik-titik yang padat dan tidak ada traffic light-nya.
Lebih lanjut, Adit, panggilan akrabnya menjelaskan bahwa 4 titik yang dianggap padat dan tidak ada traffic light. Keempat titik itu adalah perempatan Pasar Sore Lama, pertigaan RSUD dr Ishak, Pertigaan Sembung dan Persimpangan Pinka.
“Pembagian tiap titik 4 orang dengan sistem shift. Satu shift selama 3 sampai 4 jam. Sementara pengaturan lalu lintas dimulai pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore,” terang Adit tentang “jam kerja” sejak pukul 07.00 wib dan berakhir pukul 17.00 wib.
Bapak satu anak yang asli Madiun ini mengaku bahwa menjadi pengatur lalu lintas murni kerelaan. Selain itu, mengatur lalu lintas untuk mengurai kemacetan ini juga sebagai tugas dari Sekolah Luar Biasa (SLB) B Tulungagung. “Seluruh anggota tim ini adalah lulusan SLB B di Tulungagung.”
Dari kegiatan mengatur lalu lintas, Adit mengaku mendapatkan imbalan rata-rata 35 ribu rupiah tiap shift. Ada saja pengguna jalan yang memberinya imbalan beragam. Mulai Rp 100, 500, 1.000, 2.000, dan berapa pun jumlahnya, semua diterima.
Bagi para difabel itu, yang harus diakui mengalami kesulitan mengakses dunia kerja formal, menjadi relawan pengatur lalu lintas menjadi salah satu pilihan. Termasuk untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari untuk keluarga. Selain rerata 35 ribu rupiah, mereka juga ada pendapatan lain. Yaitu suplai bahan baku makanan dari sekolahnya.
Bapak satu anak punya harapan kepada pemerintah untuk lebih peduli kepada pengatur lalulintas. Lebih-lebih mereka yang berasal dari komunitas difabel ini. Bukan dalam bentuk materi, melainkan peningkatan kapasitas dan kualitas sebagai prngatur lalu lintas. “Di antaranya dengan memberikan kursus dan pengadaan perlengkapan,” harap Adit.
Tak lupa, Adit pun juga punya harapan untuk para pengguna kendaraan. Yaitu setiap diri agar lebih mentaati ketertiban lalu lintas sehingga diharapkan semuanya bisa menggunakan jalan dengan aman dan nyaman.
Ayo, tertib berlalu lintas! (hendra)
Nb: wawancara PWMU.CO dilakukan secara tertulis