PWMU.CO-Pemilihan umum (Pemilu) transaksional di Indonesia sengaja diciptakan oleh sekelompok orang yang ingin menguasai dan memiliki negeri ini. Dengan cara membeli suara rakyat itu orang-orang mereka bisa mendapatkan suara untuk menjadi legislatif dan presiden.
Demikian disampaikan dosen politik dari Universitas Muhammadiyah Surabaya Prof Dr Zainuddin Maliki dalam diskusi politik di Kantor PWM Jatim, Sabtu (6/10/2018). Narasumber lain yang juga hadir Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’thi dan pakar politik dari Unair Dr Aribowo.
Dia menerangkan, di negara ini terjadi praktik oligarki politik. ”Pemerintah yang dikuasai oleh sedikit orang. Sedikit orang itu tidak memiliki jabatan tapi bisa menguasai pemerintah karena mereka punya uang,” kata dia menjelaskan.
Dulu, sambung Zainuddin, mereka hanya ingin menguasai pemerintah. Tapi sekarang juga ingin tampil pada jabatan publik jadi anggota legislatif, kepala daerah, menteri bahkan kalau bisa jadi presiden. Target ini diperjuangkan dalam jangka panjang sampai tercapai keinginannya.
”Sistem Pemilu transaksional memang dikehendaki. Sebab dengan cara begini bisa membeli suara. Kalau politik berjalan ideal mereka ini tidak ada yang memilih,” tandas caleg PAN Dapil Gresik Lamongan ini.
Karena negara ini penduduknya mayoritas umat Islam, kata dia, mereka ingin memainkan dengan menyebarkan isu. Targetnya persatuan umat terpecah. Contohnya, munculnya isu kebangkitan PKI dengan indikator seminar, diskusi, pertemuan eks Tapol PKI, kaos bergambar palu arit, coretan palu arit di tembok dan spanduk.
Isu itu dimunculkan agar umat Islam merespon dengan keras. Kemudian disebarkan kontra isu dan menangkap orang yang paling keras responnya.
Isu berikutnya, tambah Zainuddin lagi, toleransi, kebinekaan, dan NKRI harga mati. ”Orang yang melawan isu ini langsung dicap sebagai intoleran, anti bineka, dan anti NKRI,” tuturnya.
Isu ini hampir saja berhasil karena umat Islam saling berhadapan dan mencaci maki. Tapi peristiwa demonstrasi 411 dan 212 di Jakarta yang dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengubah rencana itu.
”Ternyata umat Islam bisa bersatu dengan peristiwa itu sehingga anggapan umat Islam bisa dimainkan gagal digarap,” tandas dia. ”Saat peristiwa 411 presiden tidak mau menemui itu karena perintah kelompok oligraki. Kemudian terjadi demo 212 analisis terhadap peristiwa ini berubah. Mereka pikir-pikir akhirnya presiden mau menemui,” kata dia menambahkan.
Menurut dia, seandainya tidak ada demonstrasi 212 bisa jadi isu PKI seperti seminar-seminar PKI dan pembuatan kaos palu arit lebih gencar disebarkan.
Untuk melawan kekuatan oligraki seperti ini, kata Zainuddin, dilawan dengan kekuatan ideologi seperti demonstrasi 212. Sebarkan gagasan menciptakan Pemilu ideal. Politik yang bersih dari transaksi. (sgp)