PWMU.CO – Setiap pemilihan umum , situasi politik selalu menghangat, bahkan cenderung memanas. Maka Muhammadiyah tampil sebagai kekuatan peredam dan mencerahkan dalam menghadapi Pemilu 2019 mendatang.
Hal itu disampikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menanggapi panasnya suhu politik yang kian memanas akhir-akhir ini. Ia mengatakan, pascareformasi di negara kita yang sangat terbuka, maka jelajah pertarungan juga semakin meluas, dan benturannya akan tinggi.
Apa yang terjadi belakangan ini, ujarnya, sesungguhnya bagian dari proses politik yang sangat terbuka dan memanas sebagai bagian saja dari akibat keterbukaan itu.
“Karena itu, Muhammadiyah harus menjadi kekuatan peredam, sekaligus juga menjadi kekuatan yang mencerahkan,” kata Haedar saat ditemui oleh PMWU.CO, di Gedung Muhamamdiyah Jatim, Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (10/11/18).
Haedar menjelaskan, suasana panas itu tidak boleh dibiarkan menjadi api untuk membakar kehidupan kebangsaan kita. “Tidak perlu dibiarkan masyarakat yang sudah tentu punya pilihan-pilihan politik berbeda, mereka turut mengekspresikan pilihan politik itu dalam benturan politik. Di sinilah pentingnya Muhammadiyah menjadi kekuatan peredam,” jelasnya.
Selain itu, kata Haedar, Muhammadiyah juga menjadi tempat untuk mencerahkan, dalam makna bagaimana dalam pendidikan politik yang cerdas, yang bijak, dan juga memberi kesadaran politik bagi para warga bangsa yang berbeda pilihan politiknya.
Mereka boleh mendukung pilihannya masing-masing, tetapi tetap dalam koridor demokrasi dan kebersamaan. Muhammadiyah tidak boleh ikut dan harus yang memanas ini.
“Kalau kita mau menjadi kekuatan peredam dan pencerah, Muhammadiyah tidak boleh menjadi pemain di lapangan,” ujar pria kelahiran Bandung itu.
Lebih jauh, Haedar mengatakan, Inilah pentingnya posisi Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan, organisasi dakwah amar makruf nahi munkar, sebagai kekuatan utamanya.
“Dalam posisi sebagai kekuatan moral, sesungguhnya Muhammadiyah sudah pada tempatnya ketika memainkan politik berbasis khittah dan kepribadian,” jelasnya. Di satu pihak kita ikut pro-aktif di dalam proses politik sesuai dengan porsinya, tapi di pihak lain tidak mengambil alih peran politik.
“Kelompok-kelompok aspiran murni politik yang memperjuangkan kepentingannya, tetapi di pihak lain kita (Muhammadiyah) menjadi kekuatan katalisator dalam kehidupan politik nasional,” ujarnya. (Emil)