PWMU.CO – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr M. Busyro Muqoddas mengatakan perkembangan demokrasi di Indonesia sekarang ini hanyalah lipstik.
Pasalnya, proses politik, ekonomi, hukum ataupun lainnya di negeri ini telah dikendalikan oleh private sector atau konkritnya adalah taipan-taipan alias para konglomerat—bukan merujuk etnis tertentu.
“Jadi kalau kita ngomongin demokrasi berkembang di Indonesia itu nonsense,” katanya dalam sesi materi Sarasehan Nasional dan Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Muhammadiyah (LBHM).
Acara tersebut diadakan oleh Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (1/12/18).
Mantan Ketua KPK RI ini mengungkapkan, sehari-hari yang dekat dengan pemerintah pusat maupun daerah itu bukanlah civil society organization (CSO) seperti Muhammadiyah, Nadlatul Ulama, atau lainnya, apalagi masyarakat kecil. Tapi, yang dekat adalah para private sector yang banyak bermasalah.
“Merekalah yang berkongsi dengan pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan, private sector itu sudah masuk jauh dalam negara,” paparnya.
Busyro kemudian memaparkan data adanya 100 taipan yang menguasai hampir 55 persen kekayaan Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 260 juta jiwa.
“Itulah problem ketidakadilan di negeri ini. Nah, kok ada yang teriak-teriak NKRI harga mati. Pancasila harga mati. Omong kosong itu. Karena kita ini sejatinya sudah mati dengan adanya data itu,” ungkapnya.
Ia menegaskan, opresai korupsi dalam arti luas di daerah juga tidak bisa lepas dan jangan pernah sama sekali dilepaskan dari pusat. “Itu tidak faktual karena yang sehari-hari dekat dengan pemerintah itu private sector,” urainya.
Lalu, bagaimana peran CSO? Menurut Busyro, peran CSO masih sangat kecil dalam penentuan proses politik, ekonomi, hukum, dan lainnya di Indonesia.
“Peran CSO itu sangat kecil sekali. Apalagi universitas, yang akhir-akhir diberi pekerjaan rumah berat berupa akreditasi, skopus, proyek deradikalisme dan lainnya,” tegasnya. (Aan)