PWMU.CO-Iman dan tauhid merupakan sumber seluruh kegiatan hidup umat Islam. Itu pun sudah dirumuskan dalam pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah. Namun dalam praktik sehari-hari manusia bisa terpeleset memahami makna tauhid yang menjurus syirik.
Hal itu disampaikan Drs HM Najih Ihsan MAg, anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur dalam pengajian PCM Babat bertempat di TPA Al Hikmah, Jumat Wage (30/11/2018).
Najih Ihsan menyebutkan surat An Nahl : 83 yang maknanya, mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya.
Merujuk kepada tafsir ulama ahli fiqih generasi Tabi’in,Mujahid bin Jabr, Najih menjelaskan, yang dimaksud ayat mengingkari nikmat Allah ini misalnya seseorang yang berkata, ini adalah harta kekayaanku yang aku warisi dari nenek moyangku.
Semestinya, Najih mengulas, orang itu berkata, alhamdulillah, orang tua saya meninggalkan harta anugerah Allah untuk saya. ”Kalimat begitu yàng benar,” tandasnya. ”Nabi Sulaiman as yang memiliki berbagai macam kelebihan dan mendapatkan warisan kerajaan dari ayahnya, Nabi Daud as, berkata, hadza min fadlii robbi. Ini anugerah dari Tuhanku. Jadi tidak melupakan yang memberi,” tutur dia.
Contoh lain, tambah Najih, mengutip pendapat ‘Aun bin Abdullah tentang tafsir ayat tadi yakni perkataan seseorang seperti: Kalau bukan karena Fulan, tentu tidak menjadi begini. Ini juga melupakan nikmat Allah karena fokus menyebut jasa si Fulan.
Kemudian Najih bercerita, ada dua orang yang bersahabat. Sudah dua puluh tahun tidak bertemu. Satu sukses hidupnya. Lalu bertanya kepada sahabatnya yang sukses dan mapan hidupnya,”Kamu kok bisa seperti ini?”
Sahabat yang sukses tadi menjawab, saya mapan begini karena ditolong Pak Amat. Lalu kawannya tadi berkata, kalau begitu saya akan mencari orang seperti itu agar sukses.
Menurut Najih, kedua orang itu sama-sama menyalahi tauhid. Orang yang satu tidak menyandarkan hidup karena Allah. Dia mencari pekerjaan seperti itu agar kaya. Padahal tidak semua profesi yang sama dapat membuat kaya.
Dia mencontohkanlebih gamblang lagi. Ada orang bekerja di Muhammadiyah. Menerima gaji dia mau, THR dia mau, menerima seragam juga mau. Tapi menerima paham Muhammadiyah, dia tidak mau. ”Ada nggak orang seperti ini?” tanyanya.
”Ada..!” jawab para jamaah serentak.
Menurut dia, itulah contoh mengingkari nikmat.
Najih lantas berkisah lagi berdasarkan hadits Bukhari-Muslim yang diriwayatkan Zaid bin Khalid. Suatu hari Rasulullah saw mengimami kami shalat Subuh di Hudaibiyah setelàh semalam turun hujan. Usai shalat Nabi menghadap kepada jamaah sambil berkata,”Tahukah kamu apa yang difirmankan Tuhanmu?”
Jamaah menjawab,”Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Nabi menjelaskan, Dia berfirman, di pagi hari di antara hamba-hambaku ada yang beriman dàn ada pula yang kafir. Orang yang mengatakan,”Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Allah. Maka dia beriman kepadaKu dan kafir kepada bintang,” ucap Nabi.
”Sedangkan orang yang mengatakan,telah turun hujan karena bintang ini, atàu bintang itu, maka dia kafir kepadaKu dan beriman kepada bintang,” tandas Nabi seperti disampaikan Najih Ihsan saat mengakhiri pengajian. (Hilman Sueb)