PWMU.CO – Poligami kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat setelah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan partainya menolak praktik poligami. “PSI tidak akan pernah mendukung poligami. Tak akan ada kader, pengurus, dan anggota legislatif dari partai ini yang boleh mempraktikkan poligami,” kata Grace pada acara Festival 11 di Jatim Expo, Surabaya, Selasa (11/12/2018).
Untuk memberikan pemahaman yang utuh soal poligami pada para netizen, PWMU.CO menurunkan tulisan khusus Dr Syamsuddin MA—dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, yang juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Redaksi.
***
Dalam khazanah fikih Islam secara garis besar pandangan para ulama terhadap poligami dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang berpendapat bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah poligami. Jika karena satu dan lain sebab seseorang tidak mampu mewujudkannya maka diizinkan monogami.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Jika dalam kondisi tertentu yang sifatnya darurat, maka diizinkan poligami.
Sebenarnya ada juga kelompok ketiga, yaitu kelompok sekuler yang menentang poligami. Mereka berpendapat bahwa poligami adalah praktik haram yang menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam. Poligami dianggap sebagai pelecehan terhadap kaum hawa bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun pendapat ini tidak populer di kalangan fukaha (ahli fikih) karena dianggap menyalahi nash agama.
Menururt Ustdz Muammal Hamidi, pendapat pertama adalah pendapat umumnya ulama salaf. Dasar yang menjadi acuannya adalah Alquran Surat Annisa Ayat 3. Ayat ini turun berkaitan dengan anak perempuan yatim yang berada di bawah perwalian seorang pria. Kemudian pria tersebut bermaksud mengawininya tanpa melakukan keadilan dalam hal mahar. Lantas mereka dilarang mengawini anak yatim tersebut sebelum bisa berlaku adil dengan memberikan mahar sebagaimana seandainya mereka menikahi perempuan lain. Inilah sebab turunya yata tersebut. (Muammal Hamidi, Perkawinan dan Persoalannya, 1980:40-43).
Pendapat kedua adalah pendapat umumnya kaum modernis seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Menurutnya spirit yang terdapat dalam Alquran Surat Annisa Ayat 3 adalah spirit monogami. Tujuan agama adalah untuk kemaslahatan, kesejahteraan, dan mencegah kesusahan.
Sementara itu praktik poligami dalam masyarakat Mesir sebagaimana disaksikan oleh Abduh dan Ridho justru adalah praktik yang tidak sehat karena berlawanan dengan tujuan agama. Berangkat dari kasus yang ada di masyarakat serta kaidah dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih, (menolak kerusakan harus lebih didulukan dari pada mengambil maslahat) mereka berpendapat bahwa kebolehan poligami hanyalah dalam kondisi darurat atau terpaksa. (Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami, Studi kasus Pemikiran Muhammad Abduh, 1996: 104).
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, memberikan paparan yang cukup proporsional dalam masalah ini. Dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu hadir dalam suatu realita, mendidik, dan menjauhkan dari sikap melampaui batas dan ceroboh. Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam membolehkan kawin lebih dari seorang (al-Qaradhawi, Halala haram dalam Islam: 2000/270).
Kebanyakan umat-umat pada zaman dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus. Di dalam kitab Perjanjian Lama terdapat kisah tentang Raja Salomo (Sulaiman) yang memiliki 700 istri dan 300 gundik, genap seribu (Kitab I, Raja-Raja pasal 11 angka 3). Setelah Islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat. Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayat tentang Ghailan ats-Tsaqafi:
وقد روى الترمذي وابن ماجه وأبو داود أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وتحته عشر نسوة ، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: اختر منهم أربعاً وفارق سائرهن
“Sesungguhnya Ghailanbin Salamah ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh isteri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain.” (Riwayat Tarmizi, Ibnu Majah, Abu Dawud).
Sementara itu ada juga yang mempunyai istri delapan dan ada juga yang lima. Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi Muhammad supaya memilih empat saja.
Adil adalah Syarat Dibolehkan Poligami
Syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah kesanggupan seorang Muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua istrinya baik soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya, maupun nafkahnya. Siapapun yang tidak mampu memenuhi syarat keadilan ini, maka sebaiknya ia tidak menikah lebih dari seorang. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran Surat Annisa Ayat 3
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka menikahlah eorang saja.”
Dan sabda Rasulullah SAW
“من كان له امرأتان فمال إلى إحداهما دون الأخرى جاء يوم القيامة وأحد شقيه مائل”
“Barangsiapa mempunyai istri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring.” (Riwayat Ashab as-Sunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak isteri, bukan semata-mata kecenderungan hati. Sebab keadilan dalam hal cinta atau kecenderungan hati termasuk suatu yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Allah SWT memberikan maaf, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara istri-istrimu sekalipun kamu sangat berkeinginan, oleh karena itu janganlah kamu terlalu condong.” (Annisa Ayat 129)
Oleh karena itu pula setelah Rasulullah SAW membagi waktu dan melaksanakan keadilannya secara maksimal sesuai batas-batas kemanusiaannya, kemudian beliau berdoa:
عن عائشة، قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسائه فيعدل، ثم يقول: اللهم هذا فعلي فيما أملك، فلا تلمني فيما تملك ولا أملك
“Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan.” (Riwayat Ashabussunan)
Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu itu adalah kecenderungan kepada salah satu isterinya. Nabi SAW sendiri kalau hendak bepergian, beliau mengadakan undian. Siapa mendapat bagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi. Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya rasa adil di antara semua istrinya.
Hikmah Dibolehkannya Poligami
Islam adalah hukum Allah terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir pula. Sehingga memiliki karakteristik universal dan abadi yaitu dengan membawa undang-undang yang sempurna, universal, dan abadi. Berlaku untuk semua tempat, semua masa, dan semua manusia.
Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa-masa lainnya serta generasi mendatang. Islam telah menentukan keperluan perorangan dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya.
Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi istrinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak. Bukankah suatu kehormatan bagi si istri dan keutamaan bagi si suami kalau dia menikah lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai istri pertama dengan tetap memenuhi hak-haknya.
Sementara ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu seks yang berlebihan, tetapi istrinya bersifat dingin saja atau bahkan sakit, atau berhalangan tetap apakah dalam situasi seperti itu si laki-laki tersebut tidak boleh menikah lagi?
Dan ada kalanya dalam situasi tertentu jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, lebih-lebih karena akibat dari peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan pintu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan menjadi manusia yang dapat merasakan indahnya hidup berumahtangga, merasakan umuwwah (naluri sebagai ibu) sesuai dengan panggilan fitrah, yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, dan perlindungan (al-Qaradhawi, Halala haram dalam Islam: 2000/2703).
Ada satu dari tiga kemungkinan yang bakal terjadi seandainya perempuan jumlahnya berlebih jika dibandingkan dengan laki-laki yang mampu kawin, yaitu kemungkinan adanya perempuan yang akan hidup membujang sepanjang hayatnya.
Kemungkinan ada yang lepas kendali sehingga melakukan praktik yang dilarang agama. Kemungkinan ada juga yang bersedia dinikahi oleh laki-laki baik yang sudah beristeri yang kiranya mampu memberi nafkah dan kebahagiaan padanya. Tidak diragukan lagi, bahwa kemungkinan ketiga adalah jalan yang paling bijaksana, cara yang paling adil, dan solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapinya. Dan inilah hukum yang dipakai oleh Islam. Allah SWT, berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari, apakah ada yang lebih baik daripada hukum Allah untuk bagi orang-orang yang mau beriman” (Almaidah Ayat 50)
Inilah poligami, konsep tawaran Islam yang banyak ditentang oleh orang-orang Barat dan bahkan dijadikan sebagai alat untuk menyerang kaum Muslimin. Pada saat yang sama mereka membiarkan dan membenarkan praktik hubungan haram antara seorang laki-laki dengan banyak perempuan untuk kenikmatan sesaat, tanpa suatu ikatan dan pembentukan keluarga.
Inilah poligami yang dilarang, poligami atheis dan amoral yang tidak dibenarkan oleh undang-undang dan moral.. Kalau begitu manakah di antara dua golongan masyarakat tersebut yang lebih lurus perkataannya dan lebih baik jalannya.
Ringkasan Hukum Poligami
- Bahwa Islam tidak menciptakan undang-undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami pada jumlah tertentu
- Bahwa Islam tidak memerintahkan poligami, tetapi hanya membolehkan. Kebolehan di sini diikat dengan syarat yang ketat yaitu mampu berbuat adil.
- Poligami merupakan solusi dan jaga-jaga, bukan sebaliknya yaitu malah menimbulkan kekacauan rumah tangga. Sehingga pelaksanaannya harus disesuaikan dengan keadaan, di mana dan kapan obat ini dibutuhkan.
- Betapapun buruknya poligami itu, (bagi yang berpendapat bahwa poligami adalah buruk) poligami islami tetap jauh lebih baik bagi masyarakat, perorangan maupun keluarga dari pada penggunaan hak secara membabi buta yang tidak diatur dengan poligami islami ini. (*)