PWMU.CO – Semakin mendekati pemilu serentak 17 April 2019, suasana kehidupan sosial kemasyarakatan seperti memasuki masa dhukhan, di mana ruang udara dipenuhi oleh kabut asap atau dhukhan. Bukan kabut seperti di waktu pagi hari, melainkan kabut yang mengandung residu, polutan.
Masa dhukhan itu suatu istilah babak waktu menjelang kiamat untuk mematikan orang-orang beriman agar tidak mengalami saat kiamat karena di saat itu ada siksaan dunia yang sangat luar biasa. Langit terbelah, gunung-gunung beterbangan dan berbenturan menjadi butiran-butiran pasir panas, manusia pontang-panting seperti butiran gabah ditampi mencari selamat sendiri-sendiri.
Tetapi tulisan ini jangan ditafsirkan bahwa pemilu ini merupakan instrumen matinya kaum beriman. Jangan diartikan babak menuju Indonesia kiamat atau bubar seperti yang ditulis PW Singer dan August Cole dalam novelnya yang fenomenal: Ghost Fleet.
Saya juga tidak ingin Indonesia bubar sekalipun bubarnya suatu negara adalah biasa terjadi. Bukan hanya Indonesia yang diramalkan akan bubar, Amerika pun diramalkan akan hancur seperti yang ternukil dalam film Red Sparrow. Kanada, Spanyol juga diramalkan akan bubar menyusul Uni Soviet, Yugoslavia.
Polutan ini timbul sebagai efek samping ulah manusia seperti kecurangan, ketidakadilan, kesombongan, maksiat, dan mungkarat, rekayasa kebohongan, hoax dan fitnah, bully dan sumpah serapah, dendam dan marah, dengki dan iri, proses dehumanisasi dan perbuatan-perbuatan setaniyah lainnya. Semua efek samping itu menghablur menjadi polutan yang membahayakan aKidah, akhlak, nalar budi, dan kemartabatan manusia.
Setiap orang berpotensi menyumbang polutan atau residu. Contoh kecil, nge-share pesan hoax atau konten provokatif— meski tidak disadari—sudah berpartsipasi dalam menyumbang hablur polutan. Tetapi kalau ditanya siapa yang berpotensi paling banyak kontribusinya maka jawabnya adalah elite politik dan elite bisnis. Mereka mengumbar syahwat hewaniyah dan syaithaniyah untuk mencapai ambisi politik maupun bisnisnya. Saat ini politik dan bisnis adalah seperti sebilah pedang bermata dua.
Remang-remang
Polutan membuat semua menjadi remang-remang. Antara hoax dengan fakta sudah tidak jelas lagi. Antara kebenaran dan kebatilan campur-baur tanpa batasan jelas sehingga semakin sulit menarik garis tegas alhalalu bayyinun wal haramu bayyinun (yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas). Yang ada wa ma baina huma subhatun (di antara keduanya subhat). Nah yang subhat ini jauh lebih dominan.
Semakin tidak jelas eksistensi dan kedudukan antara birokrat, penjahat, agamawan, dukun, intelektual, makelar. Sulit membedakan peran asli apa pencitraan. Semakin semu antara abdi rakyat dengan benalu rakyat. Tak bisa dibedakan lagi proyek untuk rakyat apa proyek untuk konglomerat. Batas-batas keadilan dengan rekayasa hukum seperti sulitnya membedakan lawang dengan pintu.
Banyak tokoh, entah itu tokoh agama, politik, ekonomi, ormas berubah menjadi agen provokasi. Menjadi pengadu domba sesama anak bangsa. Asal njeplak tanpa tahu apa yang sebenarnya dikatakan. Masyarakat diserpih-serpih dengan pelbagai istilah.
Contohnya di lingkungan umat Islam. Diserpih-serpih dengan istilah seperti ahlus sunah wal jamaah, wahabi, Islam Nusantara, Syiah, Ahmadiyah, Neo Khawarij, Islam garis keras, Islam radikal, Islam moderat dan banyak lagi. Banyak yang menepuk air di dulang memercik muka sendiri. Menuduh sesama Muslim radikal padahal dirinya yang menganggap paling benar itulah yang radikal. Kepada sesama Muslim memusuhi kepada nonmuslim merangkul sehingga ibarat beruk dipangku keponakan ditendang.
Setiap kelompok atau golongan merasa yang paling benar, paling NKRI, paling Pancasila, paling taqwa.
Ranah publik menjadi sakit dan karut marut. Penuh caci maki, hoax, fitnah, ujub (mengagumi diri sendiri), sikap ashabiyah (merasa paling unggul). Pinjam istilah dalam serat Kalatidha: Rurah akehing ukara karana tanpa palupi (karut marut informasi berseliweran karena tiada keteladanan).
Alam dukhan bukan hanya samar-samar atau temaram tetapi juga seperti pusaran angin asap yang membanting, menjungkirkan dan mengharu-biru. Saat itulah umat Islam membutuhkan pegangan yang kuat.
Dan pegangan yang kuat itu adalah Quran dan Sunah. Khususnya Quran Surah Al Hujurat. Pemilu adalah kegiatan dalam konteks berbangsa. Mengacu Al Hujurat ayat 13, sebuah bangsa adalah saudara. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Takabur
Pemilu telah membuat orang takabur hanya karena kelewat fanatik terhadap sosok yang didukungnya sehingga melampaui Allah. Tidak sedikit yang memastikan jagonya menang. Bahkan ada ulama besar yang mengatakan jagonya harus menang. Menggunakan kata harus seolah dia sebagai Tuhan yang menentukan.
Sikap ini bertabrakan dengan Al Hujurat ayat 1. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Proses pemilu dijubeli fitnah, hoax. Hanya dengan sekali klik, begitu mudahnya orang men-share fitnah dan hoax. Tanpa disadari bahwa hoax, fitnah yang membanjiri media bisa menghancurkan bangsa ini. Allah sudah mengingatkan dalam Al Hujurat ayat 6. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Tidak sedikit pemilu membuat seorang Muslim lupa bahwa sesama orang beriman itu bersaudara. Sehingga begitu mudahnya mencela, mengolok-ngolok, menggunjing. Memberikan stigma buruk. Yang mencolok perang stigma saat ini adalah kafir, munafik, radikal, teroris, bid’ah, sesat, fasik. Sementara merasa kelompok, organisasinya yang paling baik.
Allah sudah mengingatkan pada Al Hujurat 10-12. “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri. Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Hanya dengan takut kepada Allah kita bisa melalui “dhukhan” politik ini dengan selamat. Gusti Allah nyuwun pangapura. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.