PWMU.CO – Selintas, kita berbangga hati menyimak warta sejumlah bisnis daring kita berada di kelas unicorn. Bahkan katanya juga sudah ada yang ancang-ancang naik ke decacorn.
Tapi coba simak perkataan salah satu tokoh komunitas pengemudi daring berikut:
“Saat ini XXX mendapat status baru sebagai stratup kelas decacorn, yang merupakan kasta tertinggi dari perusahaan stratup dunia. Hal yang sangat luar biasa, dengan valuasi ratusan triliun, perusahaan terus meningkatkan kapitalnya.
Namun sangat disayangkan, bahwa status decacorn tidak berpengaruh sama sekali terhadap para mitra pengemudinya. Sangat berbanding terbalik dengan para mitra pengemudinya yang kerja sangat keras di lapangan untuk dan apabila menjadi korban kecelakaan pun, tidak ada perhatian sama sekali dari pihak perusahaan, kecuali apabila terjadi hal-hal yang menjadi viral di masyarakat, baru perusahaan tunjukan perhatian.”
Mendengar testimoni satu dari jutaan pengemudi daring itu, seketika saya teringat gambaran Bung Karno sekian puluh tahun lalu. Bahwa, pemilik tanah semakin kaya, sementara petani garapan hanya di situ-situ saja. Kejayaan di lapisan atas ternyata nyaris tak ada rembesannya ke tataran bawah. Sekuat apa keuntungan spektakuler perusahaan mengangkat bawahan berikut istiri/suami dan anak-anaknya dari kesempitan?
Apakah realitas prakemerdekaan itu bangkit kembali ke kesadaran saat kita diakrabkan dengan sebutan-sebutan semisal unicorn, decacorn, hectocorn, dan lain-lain?
Semoga di tengah ‘rasa besar hati’ ini, kita tidak terperosok sampai ke keadaan yang begitu dibenci oleh si Penyambung Lidah Rakyat. Semoga para ‘penunggang’ fenomena unicorn tersadar dengan realitas yang sesungguhnya. Indonesia, “l’exploitation de l’homme par l’homme“.
Kolom oleh Reza Indragiri Amriel, #pelangganojekonline