PWMU.CO-Ketika penguasa suatu negeri memotong kepentingan publik, fasilitas umum diklaim untuk kalangan sendiri, penguasaan hajat hidup publik dijual, memaksa rakyat mengikuti pandangan politik penguasa, maka rakyat negeri itu merasa butuh penguasa alternatif.
Hal itu dikatakan dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Dr Saad Ibrahim dalam kajian Ahad pagi Fajar Solihin PCM Pare Kediri di Jl. Argowayang Kampung Taruna, Ahad (7/4 /2019).
Saad Ibrahim menyebutkan sejarah masa lalu negeri adidaya di zaman Rasulullah adalah Persia dan Romawi. ”Negeri taklukan Romawi dipaksa memeluk agama Nasrani, penduduknya diarahkan menganut paham penguasa. Penduduknya pasti tertekan menghadapi penguasa dholim. Kalau melawan mereka disingkirkan, dikriminalisasi, dipenjara dan dibunuh,” tutur ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur ini.
Persia pun begitu, sambung Saad. Penduduk negeri taklukannya dipaksa menyembah api dan menutup agama yang dimiliki penduduk sebelumnya. Maka rakyat pun tertindas dan melawan.
Rasulullah ketika membangun Negeri Yatsrib atau Madinah memiliki konsep tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Penduduk beragama Yahudi, Nasrani, Majusi dibiarkan menganut agamanya. Bahkan dilindungi oleh pemerintah.
”Melihat negeri seperti itu maka berbondong-bondonglah masyarakat memeluk ajaran Islam,” tutur Saad. Negara Yatsrib dibangun dasarnya surat Al Baqarah ayat 256. Laa ikrooha fiddin qod tabayyana rusydu minal ghoyy. Tidak ada paksaan dalam menganut agama sesungguhnya telah jelas perbedaan antara yang benar dengan yang batil.
Di mana pun jika orang muslim berkuasa, kata Saad, tidak boleh ada paksaan menganut agama. Tidak ada penindasan, kriminalisasi ulama. Berdakwah tidak harus membagi-bagi beras, mengajak orang untuk memeluk agama Islam tidak harus dengan memberi logistik.
”Baru nanti kalau sudah masuk Islam berstatus sebagai mualaf, maka dia berstatus sebagai mustahik dia berhak menerima zakat,” tandas Saad Ibrahim.
Jadi, sambung dia, kalau kekuasaan dipegang oleh orang Islam yang amanah, kemudian melebarkan sayap kekuasaannya, membuka kawasan baru yang asalnya tertutup, maka penduduk kawasan tersebut diberi kebebasan untuk memeluk agama apapun.
”Kekuatan Islam, perkembangan Islam begitu cepat karena banyak ditolong oleh warga yang akan ditaklukan itu. Warganya merasa lebih enjoy memiliki penguasa yang toleran. Islam mengajarkan toleransi,” ujarnya.
Pada dasarnya di mana pun kaum muslim berada harus menjadi pemenang atau Al Fatih. ”Tentu dengan catatan ketika menang dan menjadi penguasa, tidak boleh memaksa mengikuti satu pandangan politik,” kata dia menambahkan.
Di penjuru dunia ini kaum muslim sudah tersebar. Di Filipina, di Amerika, Australia, Jepang dan di mana-mana ada warga muslim. Diharapkan kelak mereka akan menjadi penguasa bumi.
”Dulu ketika India yang mayoritas Hindu, ada Iqbal mencanangkan dan merasa perlu mewujudkan negara sendiri. Tahun 1930, Muhammad Iqbal mempunyai gagasan dreamland. Kawasan yang diimpikan itu baru 17 tahun kemudian terwujud dengan berdirinya negara Islam Pakistan,” cerita dia.
Mengenai Indonesia, kata Saad, kita sudah memandang bentuk negara sekarang ini sebuah wadah tepat. ”Kita gak usah bikin wadah sendiri. Muhammadiyah sejak awal termasuk bagian penting bahkan representasi dari organisasi massa Islam untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya.
Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi anggota Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). NKRI itu yang mendirikan juga Muhammadiyah ikut di dalamnya.
”Karena itu tidak mungkin Muhammadiyah merusaknya sendiri. Dalam muktamar di Makassar menegaskan NKRI sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Mengingat pentingnya Muhammadiyah berperan sebagai salah satu soko guru pendiri bangsa Indonesia, maka Muhammadiyah meminta agar ada prinsip transparansi dalam pengelolaan negara,” papar dia.
Dengan prinsip ini, kata Saad menegaskan, kalau kader-kader Muhammadiyah diberi amanah untuk berkuasa tidak akan menyingkirkan komunitas-komunitas kecil seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini.
”Dahulu Belanda kita lawan bukan karena mereka Nasrani. Tapi karena menjajah kita. Belanda kita lawan karena kekayaan kita digondol ke luar negeri,” tandasnya.
Tidak jauh beda dengan situasi tahun ini, ujar Saad. Jika terus-menerus kekayaan diambil ke luar negeri, dijual kepada aseng dan asing, maka pilihannya adalah mencari pemimpin yang lebih amanah atau melawan. (Dahlansae)