PWMU.CO – Kasus kekerasan yang dilakukan siswa terhadap siswa lain kembali terulang. Kali ini, menimpa Audrey. Siswi SMP di Pontianak itu menjadi korban bullying dan pengeroyokan oleh beberapa siswi SMA di Pontianak.
Mantan Kepala SD Muhammadiyah 4 Surabaya Dr Muhammad Sholihin Fanani MPSDM menyayangkan kasus kekerasan yang dilakukan siswa terhadap siswa lain (Audrey) itu bisa terjadi.
Shalihin mengungkapkan, belum hilang ingatan terhadap kasus siswa SMA Negeri di Madura yang memukul gurunya hingga meninggal dunia. Juga kasus siswa di Jawa Barat yang berkelahi ala gladiator hingga tewas.
Pun demikian dengan kasus siswa SMP swasta di Gresik yang memaki-maki gurunya lantaran kedapatan merokok di dalam kelas. Kini, kasus bullying dan pengeroyokan oleh beberapa siswi SMA terhadap siswi SMP terjadi di Pontianak.
“Inti dari perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap orang lain ini kerap terjadi karena mereka (siswa) tidak menyadari apa yang diperbuatnya itu sebagai suatu kesalahan atau dosa,” katanya kepada PWMU.CO, di Surabaya, Kamis (11/4/19).
Semestinya, kata dia, sekolah adalah tempat yang terhormat untuk menimba ilmu dan untuk memperbaiki perilaku akhlak siswa. “Sangat disayangkan sekolah justru menjadi tempat yang menyimpang seperti kekerasan dan prilaku menyimpang lainnya,” paparnya.
Lalu, siapa yang patut bertanggungjawab agar kasus serupa tidak terjadi berulang kali? Menurut Sholihin, yang pertama adalah keluarga. Pasalnya, keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku anak. “Menurut para ahli, 60 persen perilaku anak dipengaruhi oleh keluarganya,” terangnya.
Kedua adalah sekolah. Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu mengungkapkan, harus disadari bahwa lembaga pendidikan itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk mencerdaskan orang melalui otaknya saja.
Tapi, lanjut dia, sekolah juga mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan perasaan anak (emotional quotion), perilaku anak (behavior quotion) dan kecerdasan beragama (spiritual quotion). “Nah, selama ini pendidikan kita hanya berpusat pada otak anak dan cenderung mengabaikan aspek yang lain,” terang praktisi pendidikan ini.
“Padahal, tujuan utama dari pendidikan adalah mengubah perilaku anak yang baik dan kelak menjadi anak yang bermanfaat bagi bangsa dan negara,” ujarnya.
Pria asal Lamongan itu melanjutkan, yang ketiga adalah masyarakat. Dikatakan, masyarakat harus pula ikut bertanggung jawab atas segala kejadian kekerasan di sekolah. Sebab, perilaku masyarakat sekarang ini juga ikut membentuk perilaku anak.
“Saya melihat masyarakat kita sekarang cenderung menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. Gampang tersinggung. Gampang marah. Gampang bertengkar. Termasuk perilaku para pimpinan kita yang tidak memberikan contoh yang baik. Saya lihat itu juga dapat memicu terjadinya perilaku anak,” ungkapnya.
Sholihin pun mengingatkan agar kasus yang mencoreng wajah pendidikan di Indonesia ini tidak boleh menyalahkan pihak sekolah atau pelaku saja.
“Semua pihak harus memiliki tanggung jawab yang sama karena dalam peristiwa kekerasan seperti ini sebenarnya yang menjadi korban tidak hanya korbannya, tapi pelaku juga termasuk korban,” tegasnya.
Solikin menyebutkan, ada kata-kata bijak yang perlu jadi renungan, yakni apabila menyelesaikan masalah dengan kekerasan hasilnya adalah kekerasan. Sebaliknya, jika menyelesaikan masalah dengan kasih sayang, maka orang lain akan memberikan segalanya untuk kita.
“Mungkin anak-anak kita saat ini butuh dan kurang kasih sayang dari keluarga, sekolah dan masyarakat,” tandasnya. (Aan)
Discussion about this post