PWMU.CO – Dalam kesibukannya sebagai President of Asian Conference on Religions for Peace/ACRP memimpin Sidang Dewan Eksekutif ACRP di Osaka, Jepang, 12-13 April 2019, Prof Dr M Din Syamsuddin melayani wawancara wartawan berkaitan dengan Pilpres 2019: siapa yang pantas untuk dipilih?
Berikut petikan wawancara dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 yang juga Guru Besar Politik Islam FISIP UIN Jakarta. Redaksi!
Sebagai Guru Besar Politik Islam, bagaimana Bapak melihat Pemilu/Pilpres 2019 dari perspektif politik Islam?
Pada Pemilu/Pilpres 2019 kekuatan politik Islam formal—yang dilakukan oleh parpol-parpol Islam dan berbasis massa Islam— agak porak poranda dan gagal menjadi kekuatan bersatu, namun kekuatan politik umat menguat untuk calon presiden dan wakil presiden.
Figur dari ormas Islam KH Ma’ruf Amin dipilih menjadi Cawapres Pasangan Calon (Paslon) 01, dan figur toloh muda Muslim Sandiaga Uno menjadi Cawapres Paslon 02.
Walaupun demikian, identifikasi diri umat Islam lebih kuat mengkristal pada Paslon 02. Bahkan ketampilan mereka—Prabowo-Sandi—sering dikaitkan dengan hasil ijtima’ ulama, tentu sebagian. Maka, dukungan banyak umat Islam terhadap mereka sangat bernuansa keagamaan.
Bukankah hal demikian mencerminkan apa yang disebut politik identitas?
Memang benar. Politik identitas sukar dihilangkan, khususnya di Indonesia. Sejak kemerdekaan pengelompokan politik (political grouping) sudah bernuansa identitas bahkan ideologis. Pada Pemilu 1955 tampil empat besar partai politik dengan identitas atau ideologi politik masing-masing, yakni PNI (nasionalis), Masyumi (Islam modernis), NU (Islam tradisionalis), dan PKI (komunis).
Politik identitas, dulu disebut politik aliran, memang sering dikaitkan dengan orientasi kultur keagamaan antara santri dan abangan, pada kategorisasi Clifford Geerts ditambah priyayi.
Pada era Orde Baru, walau ada penyederhanaan partai politik ke dalam tiga, yakni PPP, Golkar, dan PDI/PDIP, politik aliran sesungguhnya tidak mati tapi hanya “pingsan”. Pada Era Reformasi yang memberi kebebasan politik luas, politik aliran “siuman” atau bangkit kembali.
Memang terjadi “persilangan budaya” (cross cultural cutting), seperti aktivis santri masuk partai-partai yg dianggap sekuler, dan aktivis abangan bahkan non-Muslim masuk partai-partai Islam. Namun, aliran politik tetap hidup, terutama di kalangan masyarakat.
Perkembangan di luar ranah politik, seperti ekonomi, yang memiliki keterkaitan basis sosial baik agama maupun suku/ras, ikut mendorong politik aliran yang kemudian disebut politik identitas.
Penguasaan ekonomi pada satu kelompok dengan identitas keagamaan dan etnik tertentu akan mudah mendorong kelompok lain dengan identitas lain untuk bereaksi. Karena mereka (kalangan Islam) tidak memiliki kuasa ekonomi dan informasi/media, maka mereka mengandalkan kekuatan massa.
Itulah yang terjadi terutama di seputar Pilgub DKI Jakarta hingga saat Pemilu/Pilpres 2019.
Apakah politik identitas buruk bagi perpolitikan Indonesia dan bukankah itu akan menjadi ancaman bagi Negara Pancasila?
Politik identitas tidak selalu buruk. Akan menjadi buruk jika menonjolkan sentimen primordialisme sebagai basis solidaritas, dan mengedepankan simbolisme keagamaan atau etnik belaka.
Tapi bisa bersifat baik, jika politik identitas menekankan substansi agama ke dalam politik, yakni menyumbang nilai etik dan moral agama ke dalam politik. Ideologi politik Pancasila memungkin hal demikian, apalagi Pancasila itu sendiri dapat dipandang sebagai kristalisasi nilai-nilai agama, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Semua agama dapat menyumbangkan nilai etik dan moralnya ke dalam kehidupan politik ber-Pancasila dari sudutnya masing-masing. Pancasila menjadi milik semua agama, mama tidak baik ada yang memonopolinya.
Apakah sebagian kalangan Islam yang mendukung Paslon Capres dan Cawapres tertentu dengan menampilkan identitas adalah buruk?
Pada pengamatan saya, sebenarnya semua kelompok masyarakat menampilkan identitasnya masing-masing, hanya ada yang melakukannya secara nyata dan ada yang secara diam-diam. Hal itu lumrah adanya. Identitas melekat dengan setiap diri dan kelompok. Tentu, penampilan identitas tidak boleh bersifat eksklusif, monopolistik, dan anarkis baik dengan melakukan kekerasan fisik, verbal, dan kapital/finansial.
Politik identitas sering muncul dalam aksi reaksi. Bahwa sebagian kalangan Islam mendukung Paslon Capres dan Cawapres tertentu—jelasnya Paslon 02—saya kira karena berangkat dari persepsi mereka tentang adanya “sikap tidak bersahabat dengan Islam dan umat Islam” seperti dalam penciptaan keadilan dan pemerataan ekonomi.
Akibatnya, mereka mencari semacam “suaka politik” ke pihak yang dianggapnya bisa membela kepentingan mereka. Paslon 02 bagi mereka dianggap menjanjikan.
Bukankah Pasangan Jokowi-Ma’ruf mungkin juga melakukan itu?
Sangat mungkin. Bahkan dengan mengambil Ma’ruf Amin sebagai pendamping tentu diharapkan dapat memberi harapan kepada kalangan Islam untuk paling tidak lima tahun ke depan.
Namun, agaknya Jokowi terlambat memberi keyakinan itu. Sisa waktu satu setengah tahun masa pemerintahannya tidak dimanfaatkan untuk memberi jawaban nyata terhadap apa yang dituntut oleh sementara kalangan umat Islam, khususnya keadilan dan pemerataan ekonomi.
Cawapres Ma’ruf Amin juga tidak maksimal memastikan akan ada perubahan yang menggembirakan. Isu-isu politik yang mengangkat bipolarisasi radikal-moderat, khilafah-Pancasila, eksklusif-inklusif, dan semacamnya, selain bersifat generalisasi pejeroratif, juga bersifat kontra-produktif bagi Paslon Jokowi-Ma’ruf Amin.
Apakah ada jaminan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno akan dapat memenuhi harapan kalangan Islam. Bukankah itu nanti jika mereka menang akan berarti mereka tidak mengamalkan Bhineka Tunggal Ika?
Tergantung mereka nanti, apakah hanya bisa berjanji tapi tidak bisa memberi bukti. Jika itu terjadi, bagi siapa pun yang diberi amanat, maka itu adalah pengkhianatan terhadap rakyat. MUI dengan Ketua Umum KH Ma’ruf Amin pernah mengeluarkan fatwa “haram hukumnya memberi mandat kepada orang yang berkhianat atau ingkar janji”. Tentu ini merupakan pesan moral agama kepada siapa saja yang berminat menjadi pemimpin. Siapa pun pemenang pada Pilpres nanti harus menjadi pemimpin sejati yang mengemban amanat rakyat, menjadi pemimpin otentik, bukan kosmetik.
Dan yang paling penting, ketika mereka berkuasa mereka menjadi milik semua rakyat Indonesia, baik yang memilih mereka maupun yang tidak memilih. Sering terjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih melakukan “permainan politik berat sebelah” (zero sum game politics). Walaupun mereka didukung oleh kelompok tertentu, namun setelah terpilih mereka menjadi pemimpin bagi semua.
Ngomong-ngomong Bapak memilih Paslon mana, dan siapa yang diprediksi akan menang?
Sebagai ASN (aparat sipil negara) yang ingin mengamalkan wasathiyyah saya tidak ingin secara terbuka di publik menyatakan dukungan kepada Paslon tertentu. Namun sebagai warga negara yang baik saya tidak akan golput tapi akan menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab. Kebetulan saya mengenal baik Pak Jokowi khususnya sejak 2014, dan juga mengenal Pak Prabowo sejak hampir 28 tahun lalu, sejak tahun 1991. Begitu pula terhadap kedua Cawapres. Saya mengenal watak dan kapasitas mereka dengan baik. Saya akan memilih Paslon Capres-Cawapres yang memiliki visi kenegaraan kuat, yang dapat mengaktualisasikannya di pentas dunia, seperti Bung Karno dulu.
Saya akan memilih Paslon yang apat mewujudkan Trisakti Bung Karno yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya untuk Indonesia yang berjaya dan juara di tingkat dunia.
Maka saya berdamba ada pemimpin Indonesia yang dapat mewujudkan kedaulatan negara dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya secara nyata bukan dalam kata-kata.
Siapa yang akan menang? Saya tidak mengamati secara khusus dan saya terlanjur tidak percaya dengan survei-survei karena pengalaman masa lalu. Tapi mengamati masa kampanye, saya menyigi ada arus perubahan. Antusiasme rakyat sangat besar. Adalah sunnatullah jika rakyat mengingin hari ini lebih baik dari hari kemarin, san hari esok harus lebih baik dari hari ini. (MN)