PWMU.CO – Ustadz kami ingin bertanya tentang imam shalat. Seringkali saya melihat orang-orang saling dorong untuk mempersilahkan temannya menjadi imam shalat. Bahkan tidak jarang yang menjadi imam pada akhirnya justru orang yang pengetahuan agamanya tidak lebih baik dibanding makmumnya.
Bagaimanakah yang sebenarnya tentang orang yang layak menjadi imam shalat?
Ali Fauzi, Sidoarjo.
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Semua urusan manusia telah dijelaskan secara gamblang dan rinci di dalam Alquran dan Assunah. Baik urusan ibadah ataupun urusan muamalah duniawiyah. Termasuk masalah imamah ash-shalah (imam shalat).
Tidak diragukan lagi bahwa menjadi imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang dulu telah diemban sendiri oleh Rasulullah SAW, dan diteruskan oleh para khalifah sepeninggal beliau.
Memang pada zaman awal Islam pemimpin umat terdiri dari para faqih yang shalih. Di samping sebagai pemimpin negara mereka pun juga pemimpin shalat.
Terdapat sejumlah hadits yang menerangkan tentang keutamaan atau fadhilah imam. Asy-Syaukani, dalam Nail al-Authar, III/195, mengutip riwayat imam Ahmad dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
ثَلَاثَةٌ عَلَى كُثْبَانِ الْمِسْكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَبْدٌ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَرَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ بِهِ رَاضُونَ وَرَجُلٌ يُنَادِي بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
“Tiga golongan manusia nanti pada hari kiamat mereka berada di atas tumpukan wewangian misik, yaitu budak yang menunaikan hak Allah dan hak tuan pemiliknya, seseorang yang menjadi imam shalat bagi satu kaum di mana kaum tersebut suka kepadanya, dan seseorang yang kumandangkan adzan lima kali sehari semalam.”
Memang patut disayangkan banyak orang yang ilmu agamanya memadai namun menghindar dari tugas yang mulia ini. Padahal tidak ada halangan yang menghalanginya untuk menjadi imam. Akibatnya posisi ini diisi oleh golongan orang-orang awam yang terbatas pengetahuan agamanya. Misalnya, dalam hal membaca surah Alfatihah saja tidak mujawwad, jauh dari kaidah-kaidah ilmu tajwid. Belum lagi masalah akhlak dan ketaatan beragama. Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang orang yang berhak menjadi imam dan beberapa adab berkaitan dengannya.
Pertama, menimbang pengetahuan dirinya, apakah dirinya laik untuk menjadi imam shalat berjamaah, atau justru ada yang lebih laik daripada dirinya? Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syariat. Di antara yang harus menjadi pertimbangan ialah: 1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, tentu jika tuan rumah kapabel menjadi imam. 2). Orang yang diangkat oleh ketua takmir masjid untuk menjadi imam, seringkali disebut sebagai imam rawatib, lebih berhak menjadi imam. Orang lain tidak boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. 3) Kefasihan dan kefaqihan dirinya. Maksudnya jika ada yang lebih fasih dalam bacaan Alquran dan lebih faqih, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Sebagaimana telah ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan dari Abi Mas`ud al-Badri, dari Rasulullah Saw:
ﻳَﺆُﻡُّ ﺍْﻟﻘَﻮْﻡَ ﺃَﻗْﺮَﺅُﻫُﻢْ ﻟِﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﻪِ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻓِﻰ ﺍﻟْﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻓَﺄَﻋْﻠَﻤُﻬُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴُّﻨَّﺔِ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻓِﻰ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻓَﺄَﻗْﺪَﻣُﻬُﻢْ ﻫِﺠْﺮَﺓً ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻓِﻰ ﺍْﻟﻬِﺠْﺮَﺓِ ﺳَﻮِﺍﺀٌ ﻓَﺄَﻗْﺪَﻣُﻬُﻢْ ﺳِﻠْﻤًﺎ ( ﻭَﻓِﻰ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ : ﺳِﻨًّﺎ ) ، ﻭَ ﻻََ ﻳَﺆُﻣَّﻦَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻓِﻲ ﺳُﻠْﻄَﺎﻧِﻪ ( ﻭﻓﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ : ﻓِﻲ ﺑَﻴْﺘِﻪِ ) ﻭَ ﻻَ ﻳَﻘْﻌُﺪْ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﻜْﺮِﻣَﺘِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ
“Yang berhak menjadi imam suatu kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunah. Jika mereka dalam sunah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain, yang lebih tua umurnya). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain, di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduk khususnya, kecuali seizinnya.” (HR Muslim, II/133).
4) Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam apabila jamaah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ
“Tiga golongan yang tidak diangkat sejengkalpun shalat mereka ke atas kepala mereka, seorang lelaki yang mengimami suatu kaum sedangkan mereka tidak suka kepadanya, seorang wanita yang pada saat malam (menyebabkan) suaminya marah kepadanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan hubungan.” (Sunan Ibnu Majah, hadits nomor 981).
Lahiriah hadits memberikan pengertian bahwa pada asalnya tidak ada perbedaan antara imam yang disenangi atau dibenci oleh makmumnya. Oleh karena adanya riwayat ini maka adanya unsur kebencian dapat menjadi kendala bagi orang yang sebenarnya layak menjadi imam. Ghalibnya kebencian yang dimaksudkan bukanlah yang bersumber dari persoalan duniawi, melainkan kebencian karena Allah SWT.
Seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat atau orang yang mebiasakan diri pada dosa-dosa kecil. Namun demikian bagi siapa saja yang mengetahui, bahwa ada sekelompok orang (makmum) membencinya, dengan sebab atau tanpa sebab agama, afdhalnya ia tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.
Imam Ahmad berkata, jika yang membencinya hanyalah satu atau dua orang saja, maka tidak ada masalah baginya untuk menjadi imam mereka.
Kedua, seseorang yang menjadi imam wajib mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Tidak dipungkiri masih adanya imam shalat yang bacaan Alqurannya tidak fasih dan hafalannya tidak mantab. Makharijul huruf-nya dan panjang-pendeknya tidak tepat sehingga mengubah makna ayat.
Penulis pernah mendengar dari seorang imam yang membaca surat Alhumazah, ia mengucapkan, ”allazi jaama’a maalaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya yang semula “mengumpulkan harta”, berubah menjadi “meniduri harta”.
Ketiga, melaksanakan shalat dengan memperhatikan kemaslahatan makmum, dalam arti pertengahan, tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek. Yang demikian ini dalam rangka menjaga keadaan jamaah agar tetap tenang rileks dalam pelaksanaan shalat.
Di antara dalil yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ
“Jika salah seorang di antara kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah ia melaksanakan secara ringan, karena di antara mereka ada yang sakit, lemah, dan usia tua. Dan jika ia shalat sendiri, maka berlama-lamalah sekehandaknya.” (HR, al-Bukhari, nomor 703).
Perlu diingat, bahwa makna “sederhana” adalah relatif, dalam arti bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu ukuran panjang dan pendek tetap mengacu pada as-sunah, bukan mengacu bukan pada keinginan imam ataupun makmum. Mengingat ada riwayat bahwasanya Rasulullah memimpin shalat dengan durasi cukup panjang bahkan sangat panjang.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمْ الصَّلَاةَ فَقَرَأَ بِهِمْ الْبَقَرَةَ قَالَ فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلَاثًا اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَنَحْوَهَا
Dari Jabir Bin Abdillah ra, sesungguhnya Mu’adz bin Jabal ra, selalu shalat bersama Rasulullah SAW, kemudian ia mendatangi kaumnya untuk memimpin shalat, dengan membaca surah Albaqarah. Maka salah seorang makmum memisahkan diri lalu shalat sendirian dengan lebih cepat (lalu pergi). Ketika berita itu sampai kepada Mu’adz ia berkata: ‘Orang itu adalah orang munafiq.’ Ketika orang tersebut mengetahui perkataan Mu’adz, ia datang mengadu kepada Rasulullah SAW, dan berkata: Ya Rasulullah, kami adalah orang yang bekerja dengan kedua tangan kami dan menyiram tanaman dengan hewan ternak kami, sedang tadi malam Mu’adz mengimami kami dengan membaca surah Albaqarah, kemudian saya memisahkan diri, lalu ia mengklaim bahwa saya adalah seorang munafiq! Kemudian Nabi SAW, bersabda: Hai Mu’adz, apakah engkau hendak membuat kericuhan (tiga kali). Seharusnya engkau (cukup) membaca Wasy-Syamsi wa dhuhaha dan Sabbikhisma raabbikal a’laa atau semacamnya” (HR, al-Bukhari dan Muslim).
Dari kisah ini para fuqaha banyak mengambil pelajaran khususnya bagi orang yang akan menjadi imam shalat, ia harus memperhatikan keadaan jamaah. Jika mereka orang-orang awam, atau di antara mereka terdapat para pekerja maka sebaiknya ia memperingkas shalat agar tidak memberatkan yang bisa berakibat mereka keluar memisahkan diri dari shalat berjamaah.
Sedang jika mereka adalah orang-orang yang bisa mengikutinya seperti para penuntut ilmu dan semacamnya maka boleh baginya untuk memanjangkan shalat. Dan ukuran shalat ringkas menurut riwayat di atas adalah yang bacaannya adalah surah Asy-Syams, Al-‘laa, dan yang semacamnya.
Keempat, merupakan kewajiban Imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika barisan dirasa telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir memulai shalatnya.
Diriwayatkan dari Nu`man bin Basyir, bahwasannya Rasulullah SAW meluruskan shaf kami, seakan-akan beliau meluruskan anak panah, hingga beliau melihat kami telah mematuhi komando beliau. Pernah suatu hari beliau keluar untuk shalat, saat hendak bertakbir nampak seorang makmum dadanya menonjol dari shaf.
Beliau berkata:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, jika tidak maka Allah akan memecah-belah persatuan kalian.” (HR Muslim no. 436)
Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab ra, menugaskan seseorang untuk meluruskan shaf, ia tidak akan memulai takbir hingga dikabarkan bahwa shaf telah lurus dan rapat. Demikianlah para khalifah sesudahnya (lihat Sunan at- Tirmidzi, 1/439; al-Umm li asy-Syafi’i, 1/233).
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapatkan dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir, tanpa lebih dulu memeriksa apakah barisan makmum telah benar-benar rapat dan lurus.
Dalil agama menegaskan bahwasanya jika makmum tidak mengindahkan perintah imam untuk merapatkan dan meluruskan shaf, maka mereka akan jatuh ke dalam kerugian. 1) Membiarkan celah untuk syetan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW, “Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutusnya.” (Sunan Abu Daud, hadis nomor 666).
2) Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan di antara jama’ah. 3) Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam sejumlah hadits, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya mendoakan orangorang yang menyambungkan shaf-shaf.” (HR Ahmad, IV/269 atau nomor 285, 304)
Kelima: seorang imam memanjangkan rakaat yang pertama dibanding rakaat yang kedua, atau memanjangkan dua rakaat yang pertama dibanding dua rakaat yang berikutnya. Sebagaimana hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri, dan hadis muttafaq alaih dari Jabir bin Samurah.
حَدِيث أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ لَقَدْ كَانَتْ صَلَاةُ الظُّهْرِ تُقَامُ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقْضِي حَاجَتَهُ ثُمَّ يَأْتِي أَهْله فَيَتَوَضَّأُ ثُمَّ يرجع إلى المسجد وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مِمَّا يُطيله
Dari Abi Said al-Khudri ra, ia berkata: Shalat Dzuhur benar-benar telah dilaksanakan, kemudian ada seseorang (keluar dari shaf) pergi ke Baqi untuk suatu keperluan. Setelah orang tersebut menyelesaikan hajatnya kemudian ia pulang menemui keluarganya dan berwudhu, kemudia balik ke masjid, sedangkan Rasulullah SAW masih pada rakaatnya yang pertama, sebab panjang atau lamanya. (HR Muslim).
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ وَ فِيهِ أن سَعْدا قَالَ لِعُمَربن الخطاب: إني لأصلي بِهِمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فأمدُّ فِي الْأُولَيَيْنِ وَأَحْذِفُ فِي الْأُخْرَيَيْنِ، ولا آلوما اقتديت به من صلاة رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Jabir bin Samurah ra, sesungguhnya Sa’ad bicara kepada Umar bin al-Khattab: sesungguhnya aku akan menjadi imam shalat mereka sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW, yaitu aku akan memanjangkan dua rakaat yang pertama dan meringkas dua rakaat yang berikutnya. Dan aku tidak sembrono dengan cara shalat yang aku teladani dari Rasulullah SAW (hadis Muttafaq ‘alaih).
Keenam: Meletakkan orang-orang yang dewasa dan berilmu di belakangnya. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW.
لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ
“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.” (HR Muslim, nomor 432 dan Ibnu Khuzaimah, nomor. 1572).
Menempatkan orang berilmu di belakang imam sangat penting dan strategis, karena merekalah yang akan mengingatkan jika imam salah atau lupa bacaannya, dan menggantikan jika imam batal atau berhadats.
Ketujuh: seorang imam berhak dan paling berhak untuk menasihati jamaahnya, agar tidak mendahului imam dalam rukuk atau sujudnya. Karena diangkatnya seorang imam adalah untuk dipatuhi.
Imam adalah orang yang paling pantas dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari parkatik shalat yang menyalahi tuntunan. Misalnya mendahului atau bersamaan dengan imam dalam rukuk atau sujud. memerintahkan mereka agar rukuk, sujud, serta gerakan shalat yang lainnya dilakukan setelah gerakan imam.
Demikianlah catatan pengasuh tentang beberapa adab imam salat. Wallahu swt a`lam. (*)
Ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Tulisan ini kali pertama dipublikasikan Maalah Matan.