Search
Menu
Mode Gelap

Bahaya Fatherless Bagi Anak Perempuan

Bahaya Fatherless Bagi Anak Perempuan
pwmu.co -

Oleh Bening Satria Prawita Diharja – Guru PJOK SMP Muhammadiyah 1 Gresik

PWMU.CO – Jagad media sosial (medsos) ramai membincangkan tentang siswi SMP di Batam yang menjadi korban kejahatan seksual dua pria beristri. Kejahatan tersebut terjadi dalam rentan waktu antara April hingga September 2024. Kurang lebih selama 4 tahun, korban hidup bersama orang tua tunggal (ibu). Sehingga memungkin kurang memiliki figur ayah. Korban diketahui sebagai korban pelecehan seksual setelah sang ibu mendapat bukti chat korban. Akhirnya sang ibu melaporkan kejahatan pelaku ke Polsek Sekupang Batam.

Fenomena seorang anak yang tumbuh bersama ibu tanpa kehadiran sosok ayah — baik secara fisik atau psikologis — dikenal dengan istilah fatherless. Di banding single mother atau broken home, fatherless mungkin jarang terdengar.

Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, arti dari “fatherless” adalah anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah. Dalam pengertian lain anak yang mempunyai ayah tapi peran sang ayah tidak maksimal dalam proses pengasuhan untuk mendampingi tumbuh kembangnya.

Dalam konteks Indonesia, fenomena fatherless ternyata cukup besar. Data United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2021 mencatat ada sekitar 20,9 persen anak Indonesia kehilangan peran dan kehadiran ayah dalam keseharian mereka. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam periode yang sama, hanya 37,17 persen anak usia 0-5 tahun yang mendapat pengasuhan penuh dari kedua orang tuanya, sedang sisanya, 71% anak yang tidak memiliki figur ayah.

Dampaknya, anak-anak fatherless ini mengalami putus sekolah karena masalah akademik dan non akademik. Nilai rapor mereka rata-rata yang lebih rendah daripada rekan sebayanya. Mereka malu dengan kondisinya saat di sekolah hingga menjadi korban bullying di sekolah.

Penulis sebagai tenaga pendidik pada Lembaga Pendidikan Muhammadiyah merasa prihatin dengna kondisi ini. Sebagai seorang guru, penulis merasa fenomena fatherless ini tidak boleh terabaikan begitu saja, khususnya pada siswa (anak) perempuan.

Sebuah penelitian berjudul Fatherless in Indonesia and its Impact on Children’s Psychological Development pada jurnal terbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2018 menunjukkan, anak perempuan yang mengalami fatherless pada rentang usia 12 – 16 tahun akan memiliki perilaku bergantung pada orang lain secara berlebihan. Karena peran ayah tidak mereka dapatkan, anak perempuan tersebut menjadi rentan melakukan apa saja — baik secara materi ataupun moril — untuk mendapatkan sosok ayah tersebut.

Mengatasi dampak fatherless

Lalu, bagaimana cara atau solusi untuk mengatasi dampak fenomena fatherless, utamanya agar tidak mengancam siswa perempuan?

Iklan Landscape UM SURABAYA

Sekolah sebagai lingkungan sosial utama kedua — setelah keluarga — berperan penting dalam memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar anak. Melalui sekolah, proses pembelajaran dan transfer ilmu pengetahuan berlangsung. Dari proses belajar itu akan muncul kemampuan dalam memahami hal yang benar dan yang salah, yang berpengaruh merubah tingkah laku atau attitude peserta didik.

Bagi guru, proses pembelajaran tidak hanya untuk gugur kewajiban. Lebih dari itu proses belajar harus menyentuh sisi psikologis siswa. Oleh karena itu minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampukan-kemampuan kognitif yang ada pada siswa, guru juga harus memahaminya. Dengan memahami hal tersebut, maka guru dapat menggunakannya untuk meningkatkan mempengaruhi proses dan hasil belajar anak.

Selain itu, perlu penguatan gerakan tujuh kebiasaan anak indonesia hebat yang menjadi program Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada Desember 2024. Tujuh kebiasaan utama tersebut — meliputi Bangun Pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan Sehat dan Bergizi, Gemar Belajar, Bermasyarakat, dan Tidur Cepat — harus terus ada dalam kelas. Harapannya, agar anak-anak Indonesia tidak hanya unggul dalam aspek akademis, tetapi juga memiliki kepribadian yang kuat, kepedulian sosial, serta tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.

Gerakan tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat merupakan wujud nyata dari komitmen Kemendikdasmen dalam mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berorientasi pada penguatan karakter bangsa. Dengan menanamkan delapan karakter utama bangsa seperti religius, bermoral, sehat, cerdas, kreatif, kerja keras, disiplin, mandiri, dan bermanfaat, Kemendikdasmen percaya bahwa pembangunan sumber daya manusia berkualitas harus berawal dari penanaman nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak dini

Fenomena Fatherless dalam keluarga di Indonesia ibarat api dalam sekam, tidak terlihat pada permukaan namun secara perlahan dapat membakar dan hancur. Anak perempuan yang mengalami fatherless jelas akan berdampak pada psikologisnya. Mulai dari merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), rendah diri (self-esteem), adanya perasaan marah (anger), emosi sulit terkontrol, rasa malu (shame). Hal itu terjadi ketika merasa berbeda dengan anak-anak lain serta rendahnya kontrol diri (self-control). Parahnya terkadang juga mengalami ketidakmampuan memecahkan masalah yang membuatnya sering memberontak (risk-taking).

Dari sinilah kerjasama serta komunikasi antara sekolah dan keluarga harus berkualitas agar dampak negatif dari perubahan dan dinamika kehidupan dapat terselesaikan dengan baik.

Editor Notonegoro

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments