Sahabat mulia Abu ad-Darda’ -‘Uwaimir bin Malik ra berkata: “Salatlah (walaupun hanya) dua raka‘at di tengah kegelapan malam, agar kelak menjadi cahaya yang akan menerangi kegelapan di alam kubur kalian nanti.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, hadis no. 23)
Perkataan sahabat ini bukan sekadar nasihat, tetapi sebuah peta jalan menuju ketenangan. Dalam kesunyian malam, ketika dunia terlelap dan hiruk-pikuk kehidupan mereda, ada kesempatan bagi manusia untuk kembali menyapa Tuhannya dengan hati yang jernih.
Allah Subhanahu Wa Ta‘ala menggambarkan kondisi orang-orang yang menjaga salat malam:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 17–18)
Dalam ayat lain, Allah menyanjung hamba-hamba yang rela meninggalkan nikmat tidur demi bermunajat:
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. Mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan penuh harapan. Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16)
Mereka bangkit meninggalkan kehangatan selimut, bukan karena terpaksa, tetapi karena hati mereka telah merasakan manisnya berdua-duaan dengan Allah. Maka tidak heran jika Allah menjanjikan balasan yang sangat istimewa:
“Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu berbagai kenikmatan yang menyenangkan hati, sebagai balasan atas apa yang telah mereka lakukan.” (QS. As-Sajdah: 17)
Renungan Ibnul Qayyim
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hubungan yang indah:
“Renungkanlah bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka sembunyikan dengan balasan yang juga Allah sembunyikan—kenikmatan yang tidak diketahui oleh siapa pun. Dan bagaimana Allah membalas kegelisahan mereka saat bangun dari tempat tidur dengan ketenteraman jiwa di dalam surga.”
Sebuah balasan yang setimpal:
Kesungguhan yang tersembunyi → Kenikmatan yang tersembunyi.
Kesulitan meninggalkan tempat tidur → Kelembutan kenikmatan akhirat.
Bayangkan seseorang yang setiap hari bergelut dengan masalah hidup: pekerjaan yang melelahkan, utang yang menekan, hubungan keluarga yang penuh dinamika, atau hati yang sering gundah. Di siang hari, ia terseret arus kesibukan. Tidak ada ruang untuk mendengar suara hatinya sendiri.
Namun ketika malam turun, dunia menjadi sunyi. Pada jam-jam itulah Allah “mengundang” hamba-Nya:
“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman:
‘Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan.
Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri.
Siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.'”
(Muttafaq ‘alaih)
Di waktu itu, bahkan air mata yang jatuh pun dihitung sebagai amal.
Seorang ayah yang sedang terhimpit masalah rezeki bangun dan shalat dua rakaat—ia mungkin tidak melihat hasilnya saat itu juga, tapi hatinya terasa lebih lapang.
Seorang ibu yang mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya memohon di sepertiga malam—dan Allah menjaga langkah mereka satu per satu.
Seorang anak muda yang sedang berjuang melawan hawa nafsu bangun di tengah malam—Allah melindunginya dari dosa yang tidak ia sadari.
Begitulah keajaiban shalat malam: ia menguatkan jiwa sebelum mengubah keadaan.
Mengapa kita sering meninggalkannya? Karena tubuh lelah, pikiran penuh beban, atau merasa belum pantas bangun menghadap Allah.
Padahal, salat malam bukan hanya untuk yang suci dan sempurna. Justru ia sarana membersihkan diri dari kelemahan. Bahkan Nabi Muhammad saw mengingatkan bahwa keutamaan salat malam bukan terletak pada panjangnya, tetapi pada kerelaan hati dan kesungguhan usaha.
Selain ayat-ayat di atas, Allah berfirman: “Dan pada sebagian malam lakukanlah tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
(QS. Al-Isrā’: 79)
Dan: “Sesungguhnya bangun di waktu malam itu lebih kuat (mengisi jiwa) dan lebih tepat untuk membaca (Al-Qur’an).” (QS. Al-Muzzammil: 6)
Ayat ini mengisyaratkan: Salat malam adalah pengisi daya ruhani, seperti baterai spiritual yang membuat kita lebih kuat menghadapi kerasnya hidup.
Tidak perlu menunggu sempurna. Tidak harus panjang. Tidak mesti setiap hari. Mulailah dengan dua rakaat ringan, seperti nasihat Abu ad-Darda’. Karena dua rakaat itu menjadi cahaya di kubur, menjadi penenang hati, dan menjadi penghubung antara kita dan Allah.
Di tengah dunia yang semakin bising, salat malam adalah tempat paling sunyi dan paling jujur untuk menemukan diri sendiri dan mendekat kepada Allah. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments