Bagi masyarakat adat Baduy, cukup bukan sekadar kata, melainkan hukum hidup yang dijaga dengan kesadaran penuh. Ia hidup dalam pikukuh adat aturan luhur yang tidak tertulis namun mengikat kuat, menjadi penuntun cara berpikir, bertindak, dan memaknai kehidupan. Di Tanah Baduy, hidup cukup adalah bentuk ketaatan pada keseimbangan semesta.
Orang Baduy tidak diajarkan untuk mengejar lebih, tetapi untuk menjaga agar tidak berlebih. Prinsip hidup mereka sederhana: apa yang diambil dari alam harus secukupnya, apa yang dimiliki dijaga agar tidak melampaui batas. Dalam pandangan adat, lebih bukanlah berkah, melainkan potensi rusaknya harmoni. Karena itu, hidup cukup dipahami sebagai jalan keselamatan bagi diri, komunitas, dan alam.
Mengucapkan kata cukup mudah. Namun dalam adat Baduy, cukup adalah laku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia tampak dalam rumah yang sederhana, pakaian yang apa adanya, dan irama hidup yang pelan namun pasti. Tidak ada perlombaan untuk menjadi paling kaya, paling berkuasa, atau paling menonjol. Yang dijaga adalah keselarasan dan ketentraman bersama.
Sebagai penulis, saya tidak memotret kehidupan Baduy dari kejauhan. Saya tinggal sejenak bersama para tokoh adat Baduy dalam rangka turun lapangan untuk kepentingan penelitian disertasi. Dalam kebersamaan itulah saya belajar bahwa filosofi hidup cukup bukan sekadar nilai budaya, tetapi sistem pengetahuan yang hidup dan dipraktikkan secara konsisten.
Saya menyaksikan bagaimana masyarakat Baduy tidak pernah merasa kekurangan, meski hidup dalam kesederhanaan. Standar kecukupan mereka tidak diukur dari banyaknya kepemilikan, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan dasar yang selaras dengan adat. Hidup terasa utuh karena tidak dibebani oleh keinginan yang melampaui batas nurani dan aturan leluhur.
Dalam adat Baduy, manusia tidak ditempatkan sebagai penguasa alam, melainkan sebagai bagian darinya. Maka hidup cukup menjadi bentuk penghormatan kepada alam, kepada leluhur, dan kepada generasi yang akan datang. Mengambil lebih dari yang dibutuhkan dipandang sebagai pelanggaran terhadap keseimbangan hidup yang telah dijaga turun-temurun.
Tulisan ini bukan sekadar catatan akademik, melainkan refleksi batin. Dari Tanah Baduy, saya belajar bahwa hidup cukup adalah puncak kebijaksanaan sosial. Ia mengajarkan bahwa ketenangan tidak lahir dari kelebihan, tetapi dari kemampuan membatasi diri. Di tengah dunia yang terus mendorong manusia untuk merasa kurang, adat Baduy mengajarkan keberanian untuk berkata cukup dan sungguh-sungguh menjalaninya.
Penjelasan Penulis:
Tulisan ini merupakan refleksi hasil pengalaman lapangan penulis saat tinggal dan berinteraksi langsung dengan masyarakat adat Baduy dalam rangka pengumpulan data penelitian disertasi.
Narasi ini tidak dimaksudkan sebagai generalisasi mutlak, melainkan sebagai upaya memahami nilai hidup cukup dari perspektif kearifan lokal adat Baduy yang relevan untuk dibaca kembali oleh masyarakat modern.
Dalam konteks sosiologi, filosofi hidup cukup ini menunjukkan bagaimana nilai adat mampu membentuk ketahanan sosial, keseimbangan relasi manusia dengan alam, serta ketenangan batin individu di tengah tekanan budaya konsumtif. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments