
PWMU.CO – Indonesia berada pada ambang era bonus demografi, yakni kondisi jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Fenomena ini diprediksi akan mencapai puncaknya pada tahun 2030, dan jika pengelolaannya baik, bisa menjadi momentum strategis dalam ketika mendorong kemajuan bangsa.
Sebaliknya, jika pemanfaatannya tidak secara optimal, bonus demografi justru bisa menjadi bumerang yang membebani negara.Secara sederhana, pengertian bonus demografi adalah ketika kondisi struktur penduduk dominan kelompok usia produktif yang sehat, terdidik, dan memiliki keterampilan kerja yang memadai.
Dalam konteks ekonomi, ini merupakan peluang emas karena produktivitas nasional dapat meningkat seiring banyaknya angkatan kerja yang tersedia. Dengan asumsi tingkat pengangguran yang rendah sehingga sektor industri mampu menyerap tenaga kerja. Maka kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi pun akan menjadi sangat signifikan.
Namun, manfaat dari bonus demografi tidak terjadi secara otomatis. Negara harus memiliki kemampuan perencanaan yang matang. Utamanya perencanaan dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Pendidikan tetap masih menjadi memegang peranan kunci dalam mencetak generasi yang cerdas secara akademik, dan juga memiliki soft skill serta karakter yang kuat. Pemerintah perlu memastikan akses pendidikan yang merata dan berkualitas, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Sektor kesehatan juga merupakan fondasi yang sangat penting. Karena itu, bonus demografi akan berpengaruh secara positif jika kelompok usia produktif mampu yang mendominasi dan benar-benar dalam kondisi yang sehat — baik secara fisik maupun psikis. Program layanan kesehatan, penyuluhan gizi, dan kesehatan reproduksi harus diperkuat. Termasuk layanan kesehatan jiwa yang seringkali terabaikan.
Namun pada sisi yang lain, tantangan dalam menyambut bonus demografi juga tidaklah ringan. Satu yang cukup mencolok yaitu tingginya angka pengangguran, utamanya pada lulusan perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan adanya fakta ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Karena itu penting untuk menciptakan sinergitas antara institusi pendidikan dan sektor industry, sehingga lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi yang sesuai dengan permintaan pasar kerja.
Pemerintah dan sektor swasta juga harus menciptakan lebih banyak lapangan kerja, terutama di sektor-sektor yang berbasis teknologi dan inovasi. Ekonomi digital, misalnya, membuka banyak peluang baru agar generasi muda dapat memanfaatkannya. Tentunya, masih membutuhkan suatu dukungan infrastruktur digital dan pelatihan keterampilan yang relevan agar potensi ini benar-benar bisa bermanfaat dengan baik.
Selain aspek ekonomi, bonus demografi juga memiliki implikasi sosial dan politik. Kelompok usia muda ini cenderung lebih kritis dan aktif dalam menyuarakan pendapatnya. Oleh karena itu, partisipasi politik generasi muda perlu terfasilitasi secara kondusif, misalnya melalui pendidikan politik yang sehat, bukan dengan pendekatan represif. Generasi muda juga harus mendapatkan ruang untuk berekspresi dalam proses pengambilan keputusan publik.
Untuk memastikan bonus demografi menjadi berkah, perlu kolaborasi antara berbagai pihak—baik pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, hingga individu itu sendiri. Setiap pihak memiliki peran dalam menciptakan ekosistem yang mendukung produktivitas dan kesejahteraan bersama. Kita tidak bisa hanya mengandalkan satu sektor untuk menggerakkan perubahan, melainkan harus berjalan bersinergi.
Bonus demografi itu ibaratn pisauya bermata dua. Jika pengelolaannya berjalan dengan baik, maka akan menjadi alat pemutus mata rantai kemiskinan dan keterbelakangan. Namun, jika terabaikan dalam penanganannya, maka akan menjadi sebuah ancaman laten yang berupa pengangguran massal, ketimpangan sosial, hingga instabilitas politik. Kita semua perlu menyadari pentingnya dalam mempersiapkan diri menyambut era ini dengan penuh optimisme, strategi yang tepat, dan kerja keras yang nyata.(*)
Editor Notonegoro


0 Tanggapan
Empty Comments