Search
Menu
Mode Gelap

Deepfake Ancam Persatuan Bangsa, Pendidikan Jadi Senjata Melawannya

Deepfake Ancam Persatuan Bangsa, Pendidikan Jadi Senjata Melawannya
pwmu.co -

Gelombang konten palsu berbasis kecerdasan buatan (AI) kian menyesaki ruang digital Indonesia. Deepfake—video atau audio manipulatif yang nyaris tak bisa dibedakan dari aslinya—bukan sekadar hiburan belaka, melainkan ancaman nyata yang dapat merusak reputasi, menipu publik, hingga mengoyak persatuan bangsa.

Pakar Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Firly Annisa, S.IP, MA, Ph.D, menjelaskan bahwa deepfake merupakan hasil manipulasi berbasis AI yang mampu menghasilkan audio maupun visual sangat mirip dengan aslinya.

Meski dapat dimanfaatkan untuk tujuan positif, seperti hiburan, pendidikan, atau pemasaran, teknologi ini sering disalahgunakan untuk penipuan, pelecehan, hingga propaganda politik.

“Deepfake ini rawan digunakan untuk hal-hal yang merugikan. Misalnya membuat video palsu untuk menipu orang, merusak reputasi dengan konten tidak etis, atau bahkan propaganda yang bisa memicu perpecahan. Contohnya saat beredar video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah menyebut guru sebagai beban negara. Itu jelas manipulasi berbasis AI, tapi dampaknya nyata memicu kemarahan publik,” ungkap Firly seperti dilansir di laman resmi UMY, Kamis (4/9/2025).

Fenomena ini kian berbahaya karena pemahaman masyarakat Indonesia terhadap deepfake masih rendah. Kesenjangan kualitas pendidikan dan lemahnya kemampuan berpikir kritis membuat publik mudah termakan banjir informasi dari media sosial.

Platform seperti TikTok, Instagram, Twitter, hingga WhatsApp menjadi saluran penyebaran cepat tanpa filter, sehingga konten palsu mudah diterima begitu saja.

“Banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa membedakan informasi asli dan manipulasi digital. Pendidikan yang belum merata membuat daya kritis lemah. Akibatnya, ketika informasi datang, orang cenderung menerima tanpa menyaring,” jelas Firly.

Dampak deepfake terhadap opini publik pun tidak bisa diremehkan. Berbeda dengan hoaks berbentuk teks, deepfake memadukan visual, audio, dan narasi dalam satu kemasan. Hal ini membuat publik lebih mudah percaya bahwa konten yang mereka lihat adalah fakta.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Firly menilai, literasi digital harus dipahami bukan hanya sebagai kemampuan mengakses atau menyebarkan informasi, tetapi juga kesadaran terhadap nilai dan etika.

“Sayangnya, budaya digital saat ini lebih menekankan konten viral daripada nilai. Contohnya tren sound horeg, di mana orang berjoget di jalan dengan suara keras tanpa nilai edukatif. Ini menunjukkan bahwa etika sering diabaikan, padahal etika adalah bagian penting dari literasi digital,” tegasnya.

Meski demikian, Firly menekankan bahwa deepfake tidak selalu negatif. Jika digunakan dengan bijak, teknologi ini bisa menjadi sarana kreatif dalam pendidikan, hiburan, hingga penelitian.

Dia menegaskan, benteng utama menghadapi fenomena deepfake adalah pendidikan. Pendidikan yang baik akan membentuk daya kritis, kemampuan menyaring informasi, serta ketahanan terhadap manipulasi digital.

“Pendidikan menjadi kunci untuk menghadapi fenomena ini. Kalau pendidikan kita baik, masyarakat bisa berpikir kritis dan tidak mudah ditipu. Semakin well-educated seseorang, semakin siap pula ia menghadapi perubahan sosial, termasuk fenomena deepfake. Sebaliknya, tanpa pendidikan yang memadai, masyarakat akan mudah dimanipulasi,” pungkas Firly. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments