Search
Menu
Mode Gelap

Fikih Ringtone Adzan dan Ayat Al-Quran di Handphone

Fikih Ringtone Adzan dan Ayat Al-Quran di Handphone
Dr. Aji Damanuri, M.E.I.. Foto: Istimewa/PWMU.CO
Oleh : Dr. Aji Damanuri, M.E.I. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung, dan Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
pwmu.co -

Perkembangan teknologi digital telah membentuk kembali lanskap keberagamaan umat Islam secara dramatis. Laporan APJII 2024 mencatat bahwa lebih dari 79 persen penduduk Indonesia kini menggenggam smartphone, dan 63 persen di antaranya memanfaatkannya untuk aktivitas keagamaan: membaca mushaf digital, mengikuti kajian daring, hingga memantau jadwal salat melalui aplikasi adzan.

Di tengah arus modernisasi ini, muncul fenomena baru, penggunaan lantunan ayat Al-Quran atau suara adzan sebagai nada dering. Bagi sebagian Muslim, ini adalah cara halus namun kuat untuk menghadirkan ruh spiritual dalam rutinitas harian.

Namun, di balik itu mengemuka sejumlah problematik nyata: adzan yang berbunyi di toilet umum karena lupa mematikan ponsel, penggalan ayat suci yang terdengar saat seseorang berada di tempat hiburan, hingga situasi sensitif di bulan Ramadan ketika ringtone adzan maghrib menipu orang yang menunggu waktu berbuka. Situasi-situasi inilah yang memantik perdebatan antara syiar dan kehati-hatian adab.

Dalam perspektif fikih, hukum asal inovasi teknologi dalam ranah muamalah adalah mubah, sesuai kaidah al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah sebagaimana juga menjadi pendekatan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam banyak fatwa kontemporer. Namun, kemubahan itu tidak absolut; ia dibatasi oleh prinsip penghormatan terhadap kalam Allah. Hadis sahih riwayat at-Tirmizi menggambarkan bahwa Nabi saw melepas cincin bertuliskan “Muhammad Rasulullah” sebelum masuk kamar kecil—sebuah isyarat halus bahwa lafaz suci memiliki kehormatan ruang.

Para fuqaha klasik hingga ulama modern menjadikan contoh itu sebagai argumentasi bahwa audio Al-Quran atau adzan tidak selayaknya diperdengarkan di tempat yang kotor atau bernajis, sekalipun terjadi tanpa sengaja karena bunyi ringtone. Maka, problem utamanya bukan pada teknologinya, melainkan pada konteks, niat, dan pengelolaan penggunaannya.

Dengan demikian, penggunaan ayat suci atau adzan sebagai ringtone tetap berada dalam zona kebolehan, bahkan dapat menjadi bentuk syiar yang elegan jika diletakkan pada tempatnya. Tetapi kebolehan itu menuntut etika: mematikan atau menyenyapkan ponsel saat memasuki toilet, memastikan ringtone tidak memicu kesalahpahaman waktu salat (terutama menjelang Maghrib di bulan Ramadan) dan memilih potongan ayat yang tidak berpotensi dipahami keliru ketika terputus tiba-tiba.

Majelis Tarjih menekankan bahwa syiar harus dijaga marwahnya, sebagaimana teknologi harus ditundukkan pada prinsip adab. Dengan kesadaran ini, umat Islam dapat memadukan modernitas digital dengan kesakralan ajaran Islam tanpa mencampuradukkan keduanya, sehingga teknologi menjadi wasilah yang menjaga, bukan mencederai, kehormatan ayat-ayat Allah.

Hukum Asal Kebolehan dengan Niat yang Tepat

Dalam perspektif fiqih, penggunaan suara adzan atau lantunan ayat Al-Quran sebagai nada dering termasuk dalam perkara muamalah duniawiyah yang hukum asalnya adalah mubah (diperbolehkan). Kaidah ushul fiqih menyatakan:

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ

“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehan.” (Qawa’id Fiqhiyyah)

Perbuatan ini tidak dilarang secara tegas, namun juga tidak diperintahkan secara khusus. Nilainya bergantung pada niat dan konsekuensi yang timbul. Jika diniatkan untuk menampakkan syiar Islam, mengagungkan asma Allah, dan sebagai pengingat, maka ia bernilai positif dan dapat digolongkan sebagai mustahab (dianjurkan).

Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya dalam berbagai keadaan:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Ali ‘Imran: 191)

Sebaliknya, orang yang jarang mengingat Allah dicela dalam firman-Nya:

وَلا يَذْكُرُونَ اللهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)

Mengagungkan syiar-syiar Allah adalah bagian dari ketakwaan hati:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Dengan niat yang baik, nada dering ayat Al-Quran atau adzan dapat menjadi wasilah (sarana) untuk meningkatkan keimanan, sebagaimana firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)

Iklan Landscape UM SURABAYA

Bagaimana batasan dan etika yang harus diindahkan?

Meski pada asalnya dibolehkan, kebolehan ini tidak bersifat mutlak. Ada beberapa etika dan batasan yang harus diperhatikan untuk menjaga kesucian dan kemuliaan kalamullah serta syiar Islam.

  1. Menjaga dari Tempat-tempat yang Tidak Pantas

Tempat yang kotor dan najis, seperti toilet (kamarmandi/WC), adalah lokasi yang tidak layak untuk diperdengarkannya ayat Al-Quran atau adzan. Islam sangat menjaga kesucian dan kemuliaan firman Allah.

Rasulullah SAW memberikan teladan dalam menjaga benda yang mengandung tulisan atau simbol Islam dari tempat yang tidak pantas. Dari Anas bin Malik RA, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ

“Adalah Rasulullah SAW apabila masuk kamar kecil, beliau melepaskan cincinnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Imam At-Tirmidzi menjelaskan bahwa cincin Rasulullah SAW itu bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. Hadis ini menunjukkan sikap hati-hati Rasulullah SAW dalam menjaga nama Allah dan Rasul-Nya dari tempat yang dianggap kurang pantas.

Dari Ibnu Umar RA, beliau menjelaskan:

اتَّخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ … نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ

“Rasulullah SAW pernah membuat cincin dari perak … ukirannya adalah ‘Muhammad Rasulullah.” (HR. Al-Bukhari)

Implementasinya dalam konteks ponsel adalah, jangan membawa ponsel ke dalam toilet jika memungkinkan. Namun jika terpaksa membawa, matikan ponsel atau atur dalam mode senyap/silent sebelum masuk, dan letakkan ponsel di tempat yang tertutup dan tidak terbuka secara langsung di area toilet.

  1. Menghindari Kekeliruan dan Penipuan

Penggunaan nada dering adzan harus dilakukan dengan bijak agar tidak menimbulkan kekeliruan (الْغَلَط) atau penipuan (الْغِشّ), terutama terkait waktu shalat.

Contoh yang nyata adalah pada bulan Ramadan, saat adzan Maghrib sangat dinantikan sebagai tanda waktu berbuka puasa. Jika terdengar suara adzan dari ponsel di waktu yang mendekati Maghrib, dapat menimbulkan anggapan bahwa waktu berbuka telah tiba, padahal belum. Hal ini dapat mengganggu ibadah puasa orang lain.

Oleh karena itu, sebaiknya: Mengurangi volume atau tidak menggunakan nada dering adzan di waktu-waktu yang rawan kekeliruan (seperti menjelang waktu shalat). Memilih potongan ayat Al-Quran atau adzan yang khas dan mudah dibedakan dari adzan sungguhan. Memberi tahu orang di sekitar tentang kebiasaan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman.

  1. Menghindari Sikap Lalai dan Tidak Sopan

Ayat Al-Quran seharusnya didengarkan dengan penuh penghormatan dan perhatian. Jika ponsel berdering di tengah percakapan, rapat, atau situasi yang membutuhkan ketenangan, dan pemiliknya justru mengabaikannya atau mematikan panggilan dengan seenaknya, hal itu dapat dianggap kurang menghormati kalamullah. Allah berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)

Berdasarkan analisis fiqih di atas, dapat disimpulkan:

  1. Hukum asal menggunakan ayat Al-Quran atau adzan sebagai nada dering adalah mubah, bahkan dapat bernilai mustahab jika diniatkan untuk syiar, dzikir, dan pengingat.
  2. Kebolehan ini bersyarat pada penerapan etika dan penghormatan terhadap kesucian firman Allah.
  3. Larangan utama adalah membiarkannya berbunyi di tempat-tempat yang tidak pantas seperti toilet. Solusinya adalah dengan tidak membawa, mematikan, atau mensilentkan ponsel sebelum masuk.
  4. Perlu kehati-hatian ekstra agar tidak menimbulkan kekeliruan, terutama terkait waktu shalat dan ibadah lainnya.

Namun demikian kita harus tetap memperhatikan beberapa tindakan yang kita lakukan terkait masalah ini. Hendaknya kita lebih memprioritaskan kesucian dan kemuliaan ayat Al-Quran. Jika khawatir tidak dapat menjaga etikanya, lebih baik memilih nada dering lain yang netral.

Sebagai seorag muslim tentu kita harus bersikap proaktif dalam mencegah pelanggaran, seperti membiasakan diri memeriksa mode ponsel sebelum masuk ke kamar mandi. Kita juga berkewajiban mensosialisasi pemahaman ini kepada keluarga dan komunitas agar menjadi budaya kolektif yang baik.

Dengan demikian, teknologi dapat kita manfaatkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, tanpa melanggar batasan-batasan syariat yang telah ditetapkan. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur atas nikmat teknologi, sekaligus pandai menjaganya dalam koridor yang diridhai-Nya.

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments