Search
Menu
Mode Gelap

Filantropi di Perguruan Tinggi: Dari Karitas Ke Transformatif

pwmu.co -
Oleh Muhammad Roissudin, MPd – Mahasiswa Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PWMU.CO – Filantropi Islam bukanlah fenomena baru dan bukan hasil adopsi dari Barat. Dalam sejarah Islam, praktik filantropi telah menjadi instrumen penting untuk menciptakan keadilan sosial dan solidaritas ekonomi sejak masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Konsep zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan sekadar ibadah personal. Tapi merupakan sistem sosial untuk menjamin kesejahteraan kolektif. Dalam banyak riwayat, Rasulullah dan para sahabat aktif mengelola dana umat untuk membantu kaum miskin, membebaskan budak, menyantuni anak yatim, dan membangun fasilitas umum.

Umar bin Khattab mendirikan rumah-rumah singgah bagi musafir serta distribusi pangan untuk masyarakat rentan. Sedangkan Utsman bin Affan mewakafkan “sumur Raumah” yang menjadi sumber air bersih bagi masyarakat Madinah. Ini menunjukkan bahwa filantropi Islam tidak berhenti pada tindakan karitatif, tetapi berorientasi pada pemberdayaan dan kesinambungan.

Yusuf Qardhawi dalam Fiqh al-Zakah, menegaskan bahwa zakat harus mengarah pada menciptakan pemberdayaan (tamkin) yang menjadikan mustahiq berubah menjadi muzakki.

Dalam konteks inilah, pendidikan tinggi menjadi sektor strategis yang dapat mendorong perubahan sosial secara menyeluruh. Kampus bukan hanya tempat transmisi ilmu, tetapi juga arena pembentukan karakter dan transformasi nilai.

Profesor Komaruddin Hidayat menyebutkan bahwa perguruan tinggi Islam sejatinya adalah ladang peradaban yang seharusnya memadukan spiritualitas dan rasionalitas dalam satu gerak dakwah intelektual. Filantropi di lingkungan kampus menjadi salah satu sarana untuk menghidupkan kembali makna sosial dari ilmu pengetahuan.

Kajian Strategis Praktik Filantropi di Pendidikan Tinggi

Iklan Landscape UM SURABAYA

Pemikiran terkait praktik filantropi di perguruan tinggi sejalan dengan gagasan Prof Dr Amelia Fauzia, pakar filantropi Islam dari UIN Syarif Hidayatullah. Beliau menekankan pentingnya menggeser pendekatan filantropi dari bentuk karitas menuju bentuk transformatif. Dalam bukunya Filantropi Islam dan Keadilan Sosial (2006), Amelia menyebut bahwa praktik zakat, infak, dan wakaf harus terintegrasi dengan kebijakan pembangunan dan penguatan kapasitas masyarakat. Pendidikan tinggi, dalam konteks ini, menjadi sarana utama untuk mempercepat transformasi sosial.

Namun kenyataannya, integrasi antara pendidikan tinggi Islam dan lembaga filantropi di Indonesia belum optimal. Banyak kampus masih mengandalkan APBN atau kontribusi mahasiswa. Sementara itu, potensi zakat dan wakaf belum sepenuhnya menjadi sumber daya alternatif yang bisa menopang kemajuan institusi. Kelembagaan zakat pun lebih banyak fokus pada bantuan konsumtif dan program jangka pendek. Padahal, jika dikelola secara profesional dan strategis, filantropi bisa menjadi penggerak utama bagi riset, beasiswa, hingga pengembangan pusat studi keislaman.

Profesor Hilman Latief dalam salah satu Jurnal memberikan uraian penting, praktik Filantropi di Barat telah menjadi bagian penting dari ekosistem pendidikan tinggi. Harvard University memiliki ‘endowment fund’ lebih dari 50 miliar USD yang sebagian besar berasal dari sumbangan alumni dan yayasan filantropi. Oxford Centre for Islamic Studies memperoleh dukungan dari keluarga Bin Laden, sementara Stanford University membangun pusat studi Islam dengan bantuan keluarga Abbasi. Sistem filantropinya dikelola dengan manajemen profesional, transparan, dan berorientasi jangka panjang.

Model ini menunjukkan bahwa donasi publik bisa diubah menjadi instrumen perubahan sosial yang terukur. Payton dan Moody menyebutkan bahwa filantropi adalah bentuk tanggung jawab sosial sukarela yang menghasilkan nilai publik secara berkelanjutan. Di sinilah titik penting dari peran kampus dalam menyiapkan sistem yang mampu menyerap partisipasi masyarakat. Dalam konteks negara-negara Asia, Singapura dengan National University-nya telah berhasil membangun tradisi alumni donor dan kemitraan korporasi. Malaysia mendorong Wakaf Tunai Pendidikan Nasional, sementara India mengandalkan jaringan wakaf lokal untuk menopang madrasah dan universitas Islam.

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments