Bagaimana Filantropi Indonesia?
Sebenarnya memiliki pondasi yang kuat dalam sejarah filantropi pendidikan. Muhammadiyah, misalnya, telah membangun universitas berbasis zakat, infak, dan wakaf sejak awal 1960-an. Namun kontribusi lembaga zakat terhadap pendidikan tinggi belum berkembang signifikan. Lembaga seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat lebih memfokuskan programnya pada pendidikan dasar dan menengah. Program SMART Ekselensia atau Sekolah Juara adalah contoh baik, tetapi belum menyentuh ranah pendidikan tinggi secara strategis.
Profesor Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah 2005-2010, 2010-2015, menegaskan pentingnya menjadikan kampus sebagai rumah besar umat. Menurutnya, filantropi Islam harus masuk ke sektor pendidikan tinggi sebagai bagian dari strategi peradaban. Dukungan terhadap riset, pengembangan pusat studi, serta beasiswa doktoral untuk kaderisasi intelektual Muslim harus menjadi agenda bersama lembaga zakat dan pendidikan.
Sejumlah lembaga zakat nasional sudah mulai melangkah ke arah pengembangan dan kemitraan dengan perguruan tinggi. BAZNAS misalnya, sebagai lembaga resmi pemerintah, telah meluncurkan Beasiswa Cendekia Baznas (BCB) yang bekerja sama dengan lebih dari 100 kampus negeri dan swasta. Program ini bukan hanya menyasar kebutuhan finansial mahasiswa, tetapi juga memberikan pembinaan karakter, pelatihan kepemimpinan, serta pelibatan dalam gerakan zakat nasional.
BAZNAS juga mulai membuka ruang kerja sama dengan akademisi dalam riset tematik dan penyusunan roadmap pengentasan kemiskinan. Bahkan untuk memperluas dan meningkatkan Literasi Zakat Infaq dan Sedekah dan Wakaf membuka jalur khusus Studi Islam KOnsentrasi FIlantropi di UNiversitas Islam Negeri Syarif Jakarta dan UNiversitas Islam negeri Yogyakarta sebagai Mitra Program khusus Filantropi Islam.
Sementara LAZISMU, lembaga zakat sipil milik Muhammadiyah, memiliki tradisi panjang dalam pendidikan tinggi. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Malang, dan Surakarta menjadi contoh kampus besar yang awalnya dibangun dengan dana masyarakat melalui ZISWAF. LAZISMU kini mengelola program Beasiswa Sang Surya, Sedekah Pendidikan, dan program donasi untuk pengembangan fasilitas kampus. Muhammadiyah menunjukkan bahwa model filantropi bisa dikonsolidasikan menjadi kekuatan kelembagaan pendidikan tinggi berbasis Islam.
Sementara itu, LAZISNU yang merupakan lembaga zakat dari Nahdlatul Ulama (NU) berfokus pada pendidikan pesantren dan komunitas Ma’arif. Program Beasiswa Santri dan bantuan laboratorium untuk perguruan tinggi NU mulai berjalan. Beberapa kampus seperti UNISNU dan UNU telah menjajaki kerja sama dengan LAZISNU, walau cakupannya masih terbatas. Dukungan terhadap endowment fund, beasiswa doktoral, dan riset sosial-keagamaan perlu diperluas.
Ketiga lembaga ini—BAZNAS, LAZISMU, dan LAZISNU—telah membuka jalan menuju kolaborasi lebih luas antara sektor zakat dan pendidikan tinggi. Namun jumlah, skala, dan keberlanjutan program ini masih jauh dari optimal. Dibandingkan dengan universitas-universitas di Barat, infrastruktur kelembagaan, tata kelola, dan ekosistem dana abadi pendidikan di Indonesia masih perlu dibenahi secara serius.


0 Tanggapan
Empty Comments