Search
Menu
Mode Gelap

Filantropi di Perguruan Tinggi: Dari Karitas Ke Transformatif

pwmu.co -

Tantangan

Belum ada kesepahaman strategis antara dunia akademik dan lembaga filantropi. Kampus masih sering dianggap birokratis dan kurang fleksibel, sementara lembaga zakat dituntut untuk menghasilkan dampak cepat. Belum semua kampus memiliki unit pengelolaan wakaf, sistem transparansi pengelolaan dana, atau tenaga profesional fundraising.

Padahal ada peluang besar yang terbuka lebar. Pertumbuhan kelas menengah Muslim, perkembangan fintech syariah, serta meningkatnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya keilmuan. Semua memberi harapan baru bagi penguatan filantropi pendidikan tinggi. Pemerintah pun mulai membuka ruang insentif perpajakan, pengakuan legal kelembagaan zakat, serta penguatan tata kelola wakaf produktif.

Robert Putnam menyebut bahwa modal sosial, berupa kepercayaan, jaringan, dan norma kolaboratif, adalah prasyarat keberhasilan institusi publik. Dalam hal ini, kampus dan lembaga zakat perlu membangun reputasi bersama agar dapat dipercaya publik. Michael Edwards menambahkan bahwa masyarakat sipil yang kuat lahir dari koneksi yang bermakna antara sektor publik, swasta, dan komunitas.

Prof Hilman Latief, dalam berbagai penelitiannya, mencatat bahwa salah satu tantangan utama filantropi Islam adalah lemahnya visi jangka panjang. Juga kurangnya interkoneksi antara lembaga filantropi dan institusi akademik. Artikelnya yang berjudul Islamic Aid and the Rise of Charitable Clinics in Indonesia (2012), menyampaikan bahwa lembaga zakat cenderung terkonsentrasi pada bidang kesehatan dan bantuan darurat. Sedangkan sektor pendidikan tinggi seringkali luput dari perhatian sistemik. Beliau juga mengingatkan bahwa kampus Islam memiliki peluang besar untuk menjadi pusat perubahan sosial jika mampu membangun hubungan sinergis dengan lembaga filantropi.

Filantropi Islam memiliki peran strategis dalam mendorong pendidikan tinggi yang inklusif, berdaya saing, dan berorientasi kemaslahatan umat. Sudah waktunya kampus Islam bergerak dari sekadar institusi akademik menjadi pusat inovasi dan jejaring filantropi. Menurut Yusuf Qardhawi, pengelolaan zakat untuk pembangunan sumber daya manusia adalah bentuk tertinggi dari keberpihakan terhadap masa depan umat. Kampus tidak boleh hanya menjadi penghafal ilmu, tetapi harus menjadi penggerak peradaban.

Selain itu, adanya pertumbuhan kelas menengah Muslim, perkembangan fintech syariah, serta meningkatnya kesadaran kolektif terhadap pentingnya keilmuan memberi harapan baru bagi penguatan filantropi pendidikan tinggi. Pemerintah telah membuka ruang insentif perpajakan, pengakuan legal kelembagaan zakat, serta penguatan tata kelola wakaf produktif. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi Islam memiliki peluang menjadi pelopor jejaring filantropi berbasis nilai spiritualitas.

Penggunaan teknologi digital menjadi kekuatan baru dalam membangun kanal distribusi dan pengumpulan dana. Crowdfunding berbasis syariah dan platform donasi daring telah banyak untuk lembaga zakat dan wakaf. Ini menjadi modal sosial penting bagi kampus-kampus Islam untuk mulai membangun kepercayaan publik terhadap pengelolaan zakat dan wakaf yang profesional dan transparan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Program akademik yang mengkaji zakat, wakaf, dan filantropi Islam telah mulai berkembang di beberapa perguruan tinggi, seperti UIN Jakarta, UMY, dan UII. Program studi ini tidak hanya untuk kepentingan akademis, tetapi juga dapat menjadi mitra strategis lembaga zakat dalam menyusun kurikulum pelatihan, kajian strategis, dan perencanaan program berbasis data. Keterlibatan akademisi dalam ranah praktis filantropi menjadi peluang memperluas jangkauan dan keberlanjutan program yang berdampak.

Persoalannya, masih ada tantangan struktural yang signifikan. Yaitu lemahnya regulasi internal kampus terkait pengelolaan wakaf, minimnya tenaga ahli fundraising berbasis syariah, serta belum optimalnya sinergi antara fakultas keislaman dan lembaga zakat. Juga masih banyak kampus yang belum memiliki unit khusus yang menangani kerja sama filantropi secara sistematis.

Karena itu, perlu adanya model kolaborasi yang bersifat lintas sektoral. Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bisa membangun sinergitas nasional antara perguruan tinggi dan lembaga filantropi Islam. Ini dapat dilakukan melalui platform nasional pengembangan filantropi pendidikan Islam, pelatihan nasional fundraising syariah, serta standarisasi indikator keberhasilan kerjasama kampus-filantropi.

Dengan menghadirkan tata kelola profesional, transparansi pengelolaan, dan visi jangka panjang berbasis maqashid syariah, pendidikan tinggi Islam di Indonesia berpotensi besar menjadi simpul peradaban yang berkelanjutan. Zakat dan wakaf yang bersinergi dengan kampus selain dapat memperkuat lembaga pendidikan itu sendiri, juga memperkuat jaringan intelektual dan spiritual umat Islam secara keseluruhan. (*)

Editor Notonegoro

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments