Search
Menu
Mode Gelap

Haji Abdul Chamid dan Fondasi Awal Dakwah Muhammadiyah di Nganjuk

Haji Abdul Chamid dan Fondasi Awal Dakwah Muhammadiyah di Nganjuk
Haji Abdul Chamid. Foto: Chat-GPT/PWMU.CO
Oleh : Zakariya Dzaki Mahasiswa UM Surabaya
pwmu.co -

Sejarah perkembangan Muhammadiyah di tingkat daerah sering kali tidak hanya ditentukan oleh kebijakan organisasi, melainkan juga oleh inisiatif personal dari individu-individu yang berada pada momentum yang tepat. Di Nganjuk, salah satu figur yang memegang posisi penting dalam fase awal pertumbuhan Persyarikatan adalah Haji Abdul Chamid (1915–1972). Perannya sebagai penyedia lahan pertama bagi dakwah Muhammadiyah menunjukkan bagaimana kontribusi individual dapat memengaruhi arah institusional secara signifikan.

Konteks Sosial-Ekonomi dan Jaringan Ibrahim

Karier awal H. Abdul Chamid di jaringan Toko Ibrahim, sebuah model kewirausahaan modern berbasis pendidikan karakter, memberi gambaran bagaimana jaringan ekonomi Islam pada masa itu mampu melahirkan agen-agen sosial baru. Sistem pendampingan usaha dan pemberian modal tanpa hutang yang diterapkan HYY Ibrahim bukan hanya membentuk kemandirian ekonomi, tetapi juga menciptakan kelas pedagang Muslim yang memiliki mobilitas sosial tinggi.

Masuknya H. Abdul Chamid ke Nganjuk tahun 1935 dengan membuka Toko HCH Ibrahim merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari dinamika urbanisasi lokal. Lokasi tokonya di pusat kota menempatkannya dalam orbit pergaulan masyarakat perkotaan, sehingga memungkinkan interaksi yang lebih luas dengan aktivis Muhammadiyah setempat. Dari sinilah kontribusinya bagi dakwah mulai terbentuk.

Rumah Sebagai Infrastruktur Dakwah

Salah satu aspek penting dalam sejarah Muhammadiyah daerah adalah keberadaan infrastruktur awal. Banyak cabang Muhammadiyah memulai aktivitas mereka dari masjid tua, surau kecil, ruang madrasah, atau rumah tokoh setempat. Di Nganjuk, rumah H. Abdul Chamid di Jalan Kartini 31 memegang fungsi tersebut.

Pada 1950-an, rumah ini menjadi lokasi mengaji anak-anak, kegiatan pengajian ibu-ibu, hingga kemudian menjadi embrio pendirian TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal yang resmi berdiri pada 12 Mei 1958. Dari perspektif sejarah sosial pendidikan, fakta ini menunjukkan bahwa peran rumah tangga dalam masyarakat urban Jawa pada pertengahan abad ke-20 sering kali menjadi basis utama aktivitas pendidikan komunitas.

Karakter rumah yang multifungsi—sebagai tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat kegiatan sosial-keagamaan—merefleksikan model dakwah Muhammadiyah generasi awal: adaptif, pragmatis, dan memaksimalkan sumber daya yang tersedia.

Transformasi Rumah Menjadi Lembaga Kesehatan

Menarik dicatat bahwa rumah yang sama kemudian berkembang menjadi Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin (BPRB) Muhammadiyah pada 1970–1980-an. Secara historis, ini memperlihatkan pola umum dalam perluasan AUM: pendidikan menjadi pintu masuk, kemudian diikuti sektor kesehatan. Di banyak daerah, pola ini berlangsung karena dua alasan: tingginya kebutuhan masyarakat terhadap layanan dasar, serta kedekatan rumah tokoh dengan masyarakat setempat.

Penutupan BPRB setelah berdirinya Rumah Sakit Islam ’Aisyiyah pada 1996 tidak menghapus pentingnya rumah tersebut sebagai situs sejarah AUM pertama di Nganjuk.

Wakaf Aset dan Pelembagaan Muhammadiyah

Keputusan H. Abdul Chamid mewakafkan tanah dan rumah di Jalan Gondowardoyo sebagai Kantor PDM Nganjuk memiliki implikasi kelembagaan yang signifikan. Dalam sejarah organisasi, pelembagaan (institutionalization) selalu memerlukan dukungan berupa ruang fisik sebagai simbol sekaligus pusat aktivitas.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Dengan menyediakan lahan di dekat pusat pemerintahan kabupaten, ia secara tidak langsung mengangkat posisi Muhammadiyah sebagai aktor sosial yang lebih formal dan diakui. Wakaf ini dapat dipandang sebagai satu titik penting dalam proses transformasi Muhammadiyah Nganjuk dari gerakan komunitas menjadi organisasi modern yang berstruktur.

Keteladanan sebagai Sumber Otoritas Sosial

Meskipun sifat pribadi H. Abdul Chamid digambarkan pendiam dan sederhana, dalam perspektif sejarah sosial, sosok seperti ini justru sering menjadi “otoritas moral” dalam komunitas. Keikhlasannya dalam melepaskan aset pribadi untuk kebutuhan dakwah memperlihatkan adanya kesadaran religius yang tinggi, sekaligus kedewasaan dalam memandang peran sosial seorang muslim.

Otoritas semacam ini jarang muncul dari jabatan formal; ia justru tumbuh dari praktik nyata dan konsistensi tindakan. Peran istrinya, Hj. Surati, sebagai aktivis ’Aisyiyah, juga menambah dimensi keluarga sebagai unit pendukung dakwah—sebuah pola yang dominan dalam sejarah Muhammadiyah.

Signifikansi Historis bagi Muhammadiyah Nganjuk

Jika dikaji dari perspektif sejarah institusional, warisan H. Abdul Chamid dapat disimpulkan dalam tiga aspek:

  1. Penyedia Infrastruktur Awal

    Rumahnya menjadi titik awal kegiatan pendidikan, dakwah, dan kesehatan Muhammadiyah di Nganjuk.

  2. Model Filantropi Aset

    Wakaf aset pribadi untuk kantor PDM menjadi tonggak pelembagaan organisasi.

  3. Penguatan Kelas Menengah Muslim

    Kiprahnya di bidang ekonomi menunjukkan bagaimana kelas pedagang Muslim berperan besar dalam mendukung gerakan pembaruan Islam.

Ketiga aspek ini menjadikan kontribusinya tidak sekadar amal personal, melainkan bagian dari proses historis yang memungkinkan Muhammadiyah tumbuh dan mengakar di Nganjuk.

Dalam telaah sejarah lokal Muhammadiyah, H. Abdul Chamid adalah contoh bagaimana satu individu dengan sumber daya terbatas mampu memberi dampak struktural bagi perkembangan dakwah. Kontribusinya bukan hanya pada masa hidupnya, tetapi pada keberlanjutan lembaga yang masih berjalan hingga kini.

Menempatkan peran H. Abdul Chamid dalam narasi sejarah Muhammadiyah Nganjuk berarti mengakui bahwa pembangunan gerakan besar sering kali dimulai dari ruang-ruang kecil, dari rumah-rumah sederhana, dan dari keputusan pribadi yang dilakukan dalam kesunyian.(*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments