Search
Menu
Mode Gelap

Haji Adalah Panggilan Tuhan

pwmu.co -
Gambar ilustrasi (Istimewa/PWMU.CO)


Oleh: Pradana Boy ZTF

Asisten Penasihat Khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Haji. Dosen Uniersitas Muhammadiyah Malang.

PWMU.CO – Setelah menegakkan kembali bangunan pertama dalam sejarah kehidupan manusia yang bernama Ka’bah, Ibrahim lalu menerima perintah Allah untuk menyeru manusia menunaikan haji. “Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” Demikian perintah Allah kepada Ibrahim sebagaimana dikabarkan dalam Surah ayat 27. 

Ibrahim menaati perintah itu. Tetapi, Ibrahim bertanya tentang bagaimana menyeru manusia. Terlebih Allah menyebutkan min fajjin amiiq yakni manusia dari segala penjuru dunia yang paling jauh. Imajinasikan zaman ketika Ibrahim hidup, berapakah jumlah manusia penghuni bumi ini, dan teknologi apa yang dimiliki oleh manusia itu untuk saling berkomunikasi. Maka Ibrahim merasa bahwa menyeru manusia min fajjin amiiq itu adalah sebuah pekerjaan berat. 

Tapi Allah menjamin. Kata Allah kepada Ibrahim, tugasmu hanyalah memanggil manusia untuk berkumpul di Tanah Suci ini, selebihnya adalah Aku. Ya, Allah-lah yang akan mengumpulkan semua manusia yang hatinya dipanggil. Labbaik. Maka begitulah kalimat yang diserukan oleh jamaah haji. Labbaik memiliki ragam makna. Ia bisa bermakna sambutan, menyambut dengan antusiasme yang tak biasa. Labbaik juga bisa berarti ketundukan di atas ketundukan, atau ketundukan setelah ketundukan.  

Panggilan dari Allah adalah salah satu rahasia terbesar dalam kehidupan manusia. Salah satu dari panggilan Allah itu adalah panggilan haji ke Tanah Suci Makkah. Jika sudah Allah yang memanggil, tak akan ada yang mampu menghalangi. Sebaliknya, jika Allah belum memanggil, sekuat apapun usaha dan hasrat manusia untuk menuju Tanah Suci, tentu tak akan terwujud. Begitulah pula yang saya alami. Peristiwa-peristiwa yang menuntun saya hingga akhirnya tiba (kembali) di Tanah Suci ini, setelah ber-umrah di tahun 2018, merefleksikan tentang haji sebagai sebuah Panggilan Tuhan.

Pradana Boy ZTF saat menjadi petugas haji (Pribadi/PWMU.CO)

Dalam kaitannya dengan pekerjaan saya saat ini, saya mendapatkan tugas untuk menjadi bagian dari Petugas Haji Indonesia 2025 di Makkah. Panggilan itu terkesan mendadak. Sementara dokumen yang harus disiapkan untuk menuju Tanah Suci tak sedikit. Jika hanya paspor, tentu itu mudah karena saya selalu berusaha memiliki paspor yang hidup, sehingga setiap saat ada peluang perjalanan ke luar negeri, saya selalu siap.

Namun, dokumen yang lain cukup banyak, dan tentu saja memakan waktu. Beberapa hari setelah menerima ‘‘perintah‘‘ berangkat ke Saudi Arabia, dari Jakarta, tempat kerja saya saat ini, saya meluncur ke Malang, karena sejumlah dokumen harus diselesaikan di alamat domisili. Tes kesehatan adalah di antara yang terpenting. Namun, karena salah strategi, saya mesti menghabiskan tiga hari untuk memerolehnya. Itu karena di antara dua hari aktif diselingi satu hari libur yang menjadikan proses semakin lama.

Singkat kata, semua dokumen telah saya peroleh dan saya kembali ke Jakarta. Di ibukota, aktivitas yang harus saya jalani adalah mengikuti Bimbingan Teknis calon Petugas Haji. Tiga hari berada di Asrama Haji Grand el-Hajj, Cipondoh, Tangerang, Jawa Barat; 7 Mei adalah hari keberangkatan yang dinanti-nanti oleh semua calon petugas.

Tetapi tak semua akan berangkat bersamaan. Mereka yang akan berangkat, akan mendapatkan informasi privat dan spesifik dari panitia melalui saluran pesan ke telepon genggam masing-masing. Beberapa teman yang saya kenal sudah mendapatkan pemberitahuan itu, dan mereka segera menyiapkan aneka hal untuk berangkat. Hingga beberapa jam menjelang keberangkatan ke bandara, saya tidak memeroleh informasi itu.

Tentu, saya merasa santai saja, karena toh akan ada gelombang-gelombang keberangkatan berikutnya. Bahkan, kepada beberapa teman yang akan berangkat lebih dulu saya mengucapkan selamat jalan sebelum mereka menaiki bus yang akan membawa mereka ke bandara. Rombongan pun bergerak ke bandara dan saya kembali ke asrama untuk beristirahat setelah berjibaku dengan aneka kegiatan dengan rangkaian yang hampir tak terputus selama beberapa hari.

Tiba-tiba seorang kawan yang teah sampai di bandara mengabarkan bahwa nama saya dipanggil sebagai anggota rombongan yang akan berangkat. Saya panik, tentu saja. Lalu berusaha mengubungi siapa saja yang berkaitan dengan perjalanan ini. Namun, di tengah situasi genting itu, seperti ada bisikan yang menguatkan saya, ‘‘Naik taksi dan susullah ke bandara, tidak usah menunggu perintah siapa-siapa.” 

Iklan Landscape UM SURABAYA

Maka demikianlah, saya punya prinsip, daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan pelita. Maka di tengah kegelapan situasi itu saya nyalakan pelita dengan memanggil taksi online. Namun, pelita itu kecil dan tertiup angin. Lokasi asrama haji yang memang baru dibangun itu tak terdeteksi oleh peta aplikasi taksi online. Saya semakin panik, karena waktu semakin sempit sementara waktu tempuh taksi ke lokasi saya semakin panjang. Taksi menunjukkan tanda semakin menjauh dari lokasi saya. Ya, Allah!

Di tengah situasi itu ada kawan-kawan yang memberikan dukungan moral kepada saya. Karena itu pula, keyakinan saya semakin kuat. Taksi akhirnya datang. Semua serba spekulatif. Jika memang saya masih mampu catch jadwal pesawat, memang ini rezeki saya. Tapi jika tidak, rencana lain Allah pastilah yang terbaik. 

Pada akhirnya saya mencapai bandara. Dengan nafas terengah-engah dan keringat mengalir, saya dorong koper ke lokasi daftar masuk pesawat. Perasaan lega dan rasa syukur segera memenuhi jiwa dan raga saya saat menyaksikan kawan-kawan dengan seragam Petugas Haji Indonesia masih berkerumun menunggu pembagian tiket dan paspor.

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Saya akhirnya bergabung dengan rombongan yang akan berangkat Tanah Haram.

Pesawat akhirnya mengudara, dan selama 9 jam menjejalah angkasa, roda burung besi akhirnya menjejak tanah di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, Saudi  Arabia. Dalam hitungan jam-jam yang padat, kami semua, para Petugas Haji, menjalani serangkaian aktivitas, termasuk Umrah Wajib sebagai bagian dari rangkaian ibadah haji. Usai shalat subuh kami bergerak ke Masjidil Haram. Dalam balutan kepayahan raga yang lumayan, kami semua seperti orang haus yang menantikan mata air. Mata air itu adalah Ka’bah.

Pagi itu, untuk kedua kalinya dalam hidup, saya kembali mengunjungi Ka’bah. Bersimpuh di hadapan Ka’bah, saya tumpahkan apa saja yang menjadi keluhan dan keinginan hidup yang ingin saya capai. Lebih dari segalanya, rasa imani yang paling primordial dalam lubuk hati bergelimang keharuan, bahwa pada akhirnya panggilan ke Tanah Suci itu berhasil ditunaikan. 

Benarlah bahwa perjalanan ke Tanah Suci adalah sebuah panggilan. Panggilan Allah yang tak ada mampu yang menyangkal. Jalan berliku adalah bagian dari cara Allah menguji kesabaran dalam memberikan panggilan itu. Maka, yakinkanlah bahwa sekali Allah memanggil, tak akan yang menghalangi. Itulah panggilan haji. Maka, haji adalah Panggilan Tuhan.

Editor: Azrohal Hasan

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments