Tidak semua hati memandang Al-Qur’an dengan mata yang sama. Ada hati yang langsung luluh ketika mendengar ayat Allah, ada yang justru tetap keras seolah tidak disentuh apa pun.
Padahal kalimat yang mereka dengar adalah kalimat yang sama. Apa yang membedakan? Jawabannya adalah kondisi hati, tingkat ilmu, dan kekuatan iman.
Ketika hati terisi ilmu dan iman—meski sedikit—Al-Qur’an akan terasa memancar sebagai cahaya dan petunjuk. Sebaliknya, ketika hati tertutup oleh kesombongan, dosa, dan kelalaian, maka secercah cahaya pun terasa tidak menembus dada.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sebenarnya, ia (Al-Qur’an) adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Tidaklah mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang zalim.” (QS. Al-‘Ankabūt: 49)
Mari kita bayangkan dua sahabat yang duduk berdampingan setelah shalat Isya.
Mereka membuka mushaf pada halaman yang sama. Bibir mereka bergerak membaca ayat yang sama. Namun reaksi mereka sangat berbeda:
Sahabat pertama membaca dengan penuh penghayatan. Kata demi kata ia resapi. Sesekali ia berhenti, menarik napas dalam, matanya terasa berat oleh air mata. Ayat itu seolah berbicara kepadanya: tentang sabar, tentang janji Allah, tentang surga.
Sahabat kedua membaca dengan cepat, seolah memburu waktu. Ayat-ayat itu lewat begitu saja tanpa sempat mengetuk pintu hatinya. Bukannya tidak mampu membaca, tetapi hatinya tidak sedang siap menerima cahaya.
Ayat yang sama, mushaf yang sama, suasana yang sama—yang berbeda hanyalah kesiapan hati.
Semakin bersih hati dari syirik, bid’ah, dan maksiat, semakin lembut ia ketika mendengar ayat-ayat Allah. Hati yang bersih ibarat tanah subur: setiap hujan yang turun melahirkan kehidupan. Sedangkan hati yang kotor ibarat batu keras: sekalipun hujan turun deras, tidak ada kehidupan yang tumbuh.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya, dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya bertambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfāl: 2)
Lihatlah seorang ibu yang sedang gelisah memikirkan masa depan anak-anaknya. Tengah malam, ia membuka mushaf dan tanpa sengaja menemukan ayat: “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.”
Sekejap hatinya tenang, seolah Allah berbicara langsung kepadanya. Bukan karena masalahnya selesai, tetapi karena hatinya disiram ketenangan iman.
Atau seorang pemuda yang sedang berusaha meninggalkan maksiat. Ia membaca ayat tentang ampunan Allah: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”
Air matanya mengalir. Ia merasa dipanggil untuk kembali, merasa tidak ditolak oleh Rabb-nya. Seperti itulah hati yang hidup—ia menjadikan ayat sebagai obat, bukan sekadar bacaan.
Agar Al-Qur’an benar-benar hidup dalam diri kita—bukan hanya di rak, bukan hanya di lisan—maka langkahnya jelas:
1. Perbaiki hati
Hilangkan dengki, sombong, dan dosa. Hati yang kotor ibarat kaca berdebu—cahaya tidak masuk.
2. Tambah ilmu
Pelajari makna ayat, tafsir, dan konteksnya. Ilmu adalah pintu, sedangkan hati adalah rumahnya.
3. Perkuat iman
Biasakan zikir, syukur, dan mengenang karunia Allah. Iman yang kuat membuat ayat lebih cepat meresap.
4. Jauhi maksiat
Dosa adalah racun hati. Semakin sedikit dosa, semakin tajam kepekaan hati.
Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca. Ia adalah cahaya yang harus dirasakan, dihayati, dan ditanamkan dalam kehidupan.
Hati yang bersih akan menjadikan setiap ayat sebagai pesan: sebagai nasihat, sebagai kekuatan, sebagai jalan pulang kepada Allah.
Semoga Allah menjadikan hati kita lembut, mudah menerima petunjuk, dan senantiasa hidup bersama Al-Qur’an. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments