Banyak dari kita yang sibuk mencari keberkahan jauh di luar sana, mengejar kesuksesan hingga ke ujung dunia, atau melakukan perjalanan jauh demi mencari ketenangan.
Padahal, sumber keberkahan terbesar dan jalan pintas menuju rida Tuhan sering kali sedang duduk tenang di ruang tamu kita, atau sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Ia adalah Ibu—pintu surga yang senantiasa terbuka lebar di tengah rumah kita.
Hari ini, Senin, 22 Desember 2025, Indonesia kembali memperingati Hari Ibu. Namun, lebih dari sekadar seremoni tahunan, momen ini seharusnya menjadi pengingat bahwa memuliakan sosoknya adalah ibadah harian yang tidak boleh dibatasi oleh kalender.
Di Tanah Air, tanggal 22 Desember sering kali menjadi hari di mana seorang Ibu diperlakukan layaknya ratu. Anak-anak berebut membantu pekerjaan rumah tangga, memberikan bunga, hingga kado istimewa. Tentu, itu adalah pemandangan yang indah. Namun, kasih sayang seorang Ibu tidak memiliki durasi.
Jika ia mencintai kita sepanjang hayat, maka bakti kita pun seharusnya tak mengenal tanggal merah. Menjadikannya ratu di hari ini adalah hal manis, namun menjadikannya prioritas di sisa usia kita adalah wujud bakti yang sesungguhnya.
Mengapa Harus Ibu?
Sebuah riwayat agung dari HR. Al Bukhari menceritakan betapa tingginya derajat seorang ibu. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?”
Rasulullah menjawab dengan tegas, “Ibumu.” Ketika ditanya lagi, beliau tetap menjawab, “Ibumu.” Bahkan untuk ketiga kalinya, jawabannya tetap sama, “Ibumu.” Baru pada pertanyaan keempat, beliau menjawab, “Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.”
Tiga kali pengulangan tersebut adalah penegasan tentang pengorbanan yang tak terbalas—mulai dari mengandung yang melelahkan, melahirkan yang mempertaruhkan nyawa, hingga menyusui dan merawat dengan penuh kesabaran. Tidak ada materi di dunia ini yang sanggup membayar setetes air susu atau satu malam tanpa tidur yang ia lalui demi kita.
Memuliakan Ibu tidak selalu membutuhkan kemewahan. Sering kali, kebahagiaan seorang Ibu terletak pada hal-hal kecil yang tulus:
- Ciuman di punggung tangannya saat kita hendak melangkah pergi.
- Telepon singkat di tengah kesibukan hanya untuk bertanya, “Ibu sudah makan?”
- Serta kesabaran kita dalam mendengarkan ceritanya yang mungkin sudah diulang berkali-kali.
Dalam QS. Al-Isra ayat 23-24, Allah SWT memerintahkan kita untuk tidak berkata “ah” apalagi membentaknya.
Kita diminta untuk mengucapkan perkataan yang mulia dan merendahkan diri di hadapan mereka dengan penuh kasih sayang. Restu Ibu adalah “magnet” bagi keberhasilan hidup kita. Tatkala kita mengetuk pintu hatinya, pintu langit pun ikut terbuka.
Rasulullah saw mengingatkan kita bahwa orang tua adalah “pintu surga paling pertengahan”. Selagi beliau masih ada, pintu itu masih terbuka di rumah kita. Jangan sampai kita baru menyadari betapa berharganya kehadirannya saat kursi di meja makan itu telah kosong.
Penyesalan di kemudian hari atau tangisan di depan pusara tidak akan pernah bisa menggantikan waktu yang kita sia-siakan. Maka, selagi masih ada kesempatan, peluklah ia, bahagiakanlah ia, dan jangan pernah biarkan air matanya jatuh karena lisan atau sikap kita.
Mari kita jadikan setiap hari adalah “Hari Ibu” di dalam hati. Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan kepada Ibu dan Bapak kita.
Semoga Allah melimpahkan rahmat, keberkahan yang terus bertambah, ampunan atas segala dosa, serta memberikan kita kemudahan untuk menjadi anak yang mampu menuntun orang tuanya menuju surga-Nya. Amin ya Rabbal Alamin. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments